Kanal

Otoritarianisme Baru dan Jebakan Negara Berpendapatan Menengah


Sebenarnya mirip dengan Soeharto ketika membangun Otorianisme Lama (Otla). Tapi zaman Otla, kinerja ekonominya relatif lebih menguntungkan rakyat banyak. Kebutuhan pokok stabil dan terjangkau. Ada langkah delapan jalur pemerataan, sehingga akhir pemerintahan Soeharto rasio gini sekitar 0,32 yang relatif merata, dengan rasio industri manufaktur mencapai hampir 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 1998.Sementara pemerintahan Jokowi selama hampir 10 tahun tak mampu menghindarkan dari kinerja pertumbuhan ekonomi medioker (rata-rata hanya maksimal lima persen), itu pun benefitnya lebih terakumulasi kepada kelompok 20 persen teratas. 

Mungkin anda suka

Oleh     :  Prof. Didin S Damanhuri

Guru Besar Ekonomi Politik IPB University

Konstatasi soal adanya “Otorianisme Baru” (Otba) di panggung Republik menyeruak justru sejak beberapa tahun menjelang Pilpres 2024, dengan beberapa instrumen yang secara sistematis disiapkan. Gejala Otba ini diawali dengan adanya produksi narasi yang menyebabkan pembelahan bangsa. Yakni isyu adanya kelompok intoleran versus toleran dan radikal versus moderat. 

Sebenarnya secara sosiologis, dalam masyarakat yang sangat plural ini selalu ada pihak yang kurang menghargai perbedaan (intoleran) dan pihak yang suka menggunakan kekerasan untuk mengusung keyakinannya sendiri (radikalisme). Tapi kalau sudah dijadikan alat politik untuk memojokan pihak yang berbeda pendapat, maka yang terjadi adalah masyarakat jadi terpecah untuk saling merasa pihak lain sebagai intoleran dan radikal, hanya karena perbedaan pilihan politik. 

Selanjutnya, kedua adalah adanya penggunaan instrumen hukum untuk melumpuhkan lawan politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diubah secara mendasar melalui undang-undangnya. KPK yang semula komisi negara yang independen,  disulap menjadi lembaga eksekutif langsung di bawah Presiden. Sejak itu, KPK mulai cenderung tebang pilih, dengan meninggalkan sasaran pelanggaran korupsi skala mega (seperti menjadikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya menjadi perkara perdata, padahal dana yang diselewengkan sekitar Rp450 triliun dalam perhitungan tahun 1998 saja), menebang kasus-kasus untuk lawan politik dan mengabaikan kasus-kasus kawan politik). 

Misalnya kasus dua anak Presiden yang diadukan Ubedillah Badrun (aktivis dan dosen Universitas Negeri Jakarta) yang tidak jelas tindak lanjutnya. Begitu pun buronnya Harun Masiku yang terlibat suap terhadap komisioner KPU, terkesan tak pernah serius dicari dan ditangkap. Sementara untuk kasus terhadap lawan politik begitu cepat diproses. Misalnya, kasus yang menyangkut dua menteri asal Partai Nasdem, atau kasus aduan atas pelanggaran UU ITE terhadap lawan politik, seperti terjadap Rizieq Shihab dan lain-lain, yang sangat cepat ditangani. Di sisi lain, kasus Ade Armando dan kawanannya sesama buzzers, malahan boleh jadi tidak diproses hingga kini. Dalam kaitan ini, pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengatakan bahwa “hukum telah dijadikan alat untuk pemenangan Pemilu.”

Ketiga, penggunaan buzzers dan influencer dengan dana APBN secara membabi buta telah membungkam suara kritis, baik warga yang ada di lembaga resmi DPR maupun yang ada di ruang civil society. Padahal menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), pemerintah sejak 2014 sudah membayar mereka, termasuk untuk aktivitas penunjang digital yang mencapai  Rp 1,29 triliun. Dampaknya suara kritis dari kampus-kampus dan media massa arus utama, termasuk koran dan televisi, jadi sangat langka. Padahal suara kritis yang konstruktif sangat dibutuhkan di alam demokrasi. 

Keempat, dibangunnya koalisi gemuk di DPR maupun Kabinet yang mencapai sekitar 80 persen suara parpol di DPR dan enam parpol dalam Kabinet. Dampaknya luar biasa. Segala macam proses legislasi dan pengajuan program pemerintah menjadi sangat efektif. Kalau semuanya bermanfaat untuk publik, tentu sangat bagus. Tapi terdapat berbagai undang-undang yang sangat kontroversial dan diprediksi kuat bakal merugikan rakyat dan kepentingan nasional vis-a-vis asing. Misalnya UU Minerba yang diduga melancarkan kepentingan pemilik usaha tambang batubara yang izinnya sudah kadaluwarsa. UU KPK menjadi tidak independen sehingga memberi ruang intervensi dalam penanganan kasus-kasus korupsi skala besar. UU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan lingkungan, serta sangat memihak korporasi asing. UU Kesehatan yang melancarkan pembangunan rumah sakit dan datangnya dokter-dokter asing. 

Terakhir tentu saja regulasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi jalan kepada putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk jadi calon wakil presiden dengan mengabaikan Konstitusi dan etika. 

Meski ada maksud baik pada dua undang-undang, yakni UU Ciptaker dan UU Kesehatan, yakni untuk menyederhanakan proses birokrasi, tapi proses pemberian ruang publik untuk memberikan masukan, secara substansial boleh dibilang tidak ada. 

Kelima, dengan koalisi gemuk di DPR dan pemerintahan, adanya UU ITE dengan instrumen para buzzers, serta penggunaan perangkat hukum untuk kepentingan politik, maka dua tahun menjelang Pilpres terasa sekali ada upaya sistematis untuk memperpanjang jabatan presiden tiga periode, seperti yang disuarakan ketua-ketua umum tiga parpol (Golkar, PAN dan PKB). Publik menduga hal itu terjadi karena ketiga tokoh tersebut tersandera masalah hukum. 

Dengan usul tiga periode tersebut, kita saksikan ada upaya untuk melakukan amandemen UUD 1945. Digalanglah pula lobby-lobby kepada MPR, DPD dan DPR serta parpol-parpol koalisi. Tapi akhirnya setelah Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputeri menolak, buyarlah langkah perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. 

Tapi tidak berhenti di situ, karena ada dua opsi lain, yakni penundaan Pemilu 2024. Tapi hal itu pun ditolak Megawati. Maka opsi terakhir adalah bagaimana memakai instrumen keluarga (Gibran) sebagai wapres sehingga kontrol terhadap politik dan pemerintahan tetap dapat dilakukan dengan memakai instrumen-instrumen seperti telah dijelaskan di atas. Sementara selama masa kampanye ini, banyak sekali dilaporkan bagaimana sumberdaya negara dan aparat dimobilisasi untuk memenangkan pasangan calon untuk keberlanjutan, tanpa Bawaslu dapat berbuat banyak untuk mengeremnya.

Dengan kelima instrumen Otba tersebut, sebenarnya mirip dengan Soeharto ketika membangun Otorianisme Lama (Otla). Tapi zaman Otla, kinerja ekonominya relatif lebih menguntungkan rakyat banyak. Kebutuhan pokok stabil dan terjangkau rakyat banyak. Ada langkah delapan jalur pemerataan, sehingga akhir pemerintahan Soeharto rasio gini sekitar 0,32 yang relatif merata. Industrialisasi berjalan, dengan rasio industri manufaktur mencapai hampir 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 1998.

Sementara itu, pemerintahan Jokowi selama hampir sepuluh tahun terakhir ini tak mampu menghindarkan dari kinerja pertumbuhan ekonomi medioker (rata-rata hanya maksimal lima persen). Juga pertumbuhan tersebut benefitnya lebih terakumulasi kepada kelompok 20 persen teratas. Dampaknya adalah ketimpangan semakin memburuk. 

Rasio gini pengeluaran mengarah kembali ke 0,4 (umumnya kalau rasio gini pendapatan akan berkisar 0,5) berarti sangat buruk. Apalagi kalau dikaitkan dengan ketimpangan penguasaan asset. Rasio gini lahan mencapai 0,68 (sangat timpang). Rasio asset finansial di perbankan, di mana 1,25 persen rekening menguasai 80,5 persen total simpanan. Empat puluh delapan grup Konglomerasi menguasaim 67 persen total asset jasa keuangan. Index Oligarki atau rata-rata 40 orang-orang paling kaya tahun 2023, 1.056.000 kali rata pendapatan seluruh penduduk. 

Dampaknya adalah terjadi Jebakan Negara Berpendapatan Menengah (Middle Income Trap) selama era reformasi. Yakni kalau pendapatan per kapita awal pemerintahan Soeharto (1970) sekitar 70 dolar AS menjadi 1.500 dolar AS tahun 1998 (berlipat 28 kali). Maka pada  2023 hanya berlipat jadi 4.500 dolar AS (tiga kali). Jika platform pembangunan tidak terjadi perubahan yang mendasar, maka akan sulit sekali pendapatan per kapita rata-rata penduduk mencapai 10.000 dolar AS. Apalagi dengan ketimpangan yang termasuk paling buruk di dunia, seperti tergambar dari Index Oligarki tersebut di atas. [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button