News

Polusi Buat Rugi, PDRB Jakarta Terancam Kehilangan Ratusan Triliun dari WFH

“Air dan udara, dua cairan penting yang menjadi sandaran semua kehidupan, telah menjadi tong sampah global

– Jacques Yves Cousteau-

Jacques Yves Cousteau adalah seorang perwira angkatan laut Perancis, penjelajah dan konservasionis laut yang merevolusi dunia selam skuba. Jacques ikut mengembangkan Aqua-Lung (peralatan selam skuba pertama) dan membantu membatasi perburuan paus komersial.

Meski lahir lebih dari 100 tahun lalu, ia menyadari bahwa polusi merupakan ancaman besar bagi seluruh kehidupan di bumi. Kutipan ini mengingatkan kita betapa pentingnya elemen-elemen tersebut, terlebih bila berkaca pada kondisi Jakarta saat ini, dimana menjadi salah satu kota dengan polusi terburuk di dunia.

Berdasarkan pengukuran kualitas udara versi AQAir, pada Senin (14/08), kualitas udara DKI Jakarta mencapai 152 AQI US, dan meningkat menjadi 162 AQI US pada hari Selasa (15/08). Seminggu kemudian,  Selasa (22/8), menjadi 161.

Soal siapa penyumbang terbesar polusi udara kini sedang diperdebatkan. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengklaim penyebab terbesar adalah kendaraan bermotor dengan 44 persen, sementara sektor industri menyumbang 33 persen. Sedangkan peneliti senior dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Raditya Yudha Wiranegara menyebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi penyumbang terbesar.

Terlepas dari perdebatan itu, nyatanya ‘Tong Sampah Global’ harus dihadapi masyarakat. Bukan cuma ancaman akibat udara yang buruk, namun juga faktor ekonomi seiring kebijakan pemerintah dalam menekan angka polusi udara dengan mewajibkan bekerja dari rumah alias Work From Home (WFH).

KLHK klaim polusi udara di Jakarta bukan dari PLTU. (Foto: youtube/KLHK)
KLHK klaim polusi udara di Jakarta bukan dari PLTU. (Foto: youtube/KLHK)

Istilah WFH memang bukanlah barang baru bagi masyarakat Jakarta. Dua tahun silam saat Covid-19 melanda seantero dunia, pemerintah juga menghadirkan kebijakan WFH. Kebijakan yang nyatanya kemudian berimbas pada sektor ekonomi, walau pemerintah menolak mengakui itu.

Pun kini saat menerapkan WFH untuk menekan laju polusi udara. Sejak kebijakan ini diterapkan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meyakinkan publik kalau WFH tidak akan mengganggu perekonomian. Pengalaman WFH saat Covid-19, dijadikan argumen bahwa laju perekonomian akan baik-baik saja.

“WFH tidak berpengaruh ke kinerja ekonomi. Terbukti waktu 2021 dan 2022  ekonomi kita jalan sangat baik walaupun mayoritas dari kita bekerja dari rumah,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu, di Seminar on Energy Transition Mechanism: ASEAN Country Updates di Jakarta, Rabu (23/8/2023).

Selain itu, klaim konsumsi rumah tangga juga berjalan cukup tinggi saat periode Covid. Ini mengindikasikan sistem bekerja dari rumah tidak memiliki potensi mengganggu perekonomian ke depan.

Hal yang kemudian diragukan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus. Saat berbicara dalam forum Diskusi Publik Continuum INDEF yang disiarkan secara daring,  Heri Firdaus memprediksi kebijakan WFH akan menggerus pertumbuhan ekonomi di Jakarta hingga 0,73 persen. Sedangkan secara nasional, diprediksi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi hingga 0,2 persen.

caramengurangi emisi karbon
Kepadatan arus lalu lintas di salah satu ruas jalan di Ibu Kota Jakarta.Emisi karbon kendaraan bermotor dinilai sebagai biang utama polusi udara di Jakarta (Foto: Inilah.com)

“Karena DKI Jakarta kan merupakan barometer nasional maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Heri, Selasa (22/8/2023).

Efek dari kebijakan ini bisa disimulasikan dengan asumsi pengeluaran masyarakat di kota-kota besar khususnya DKI Jakarta, yang sebagian besar untuk keperluan transportasi. Sementara WFH berpotensi mengurangi mobilitas masyarakat.

”Dari 100 persen pengeluaran katakanlah 10 persen untuk transportasi. Kalau misalnya 10 persennya ini dikurangi, penyerapan tenaga kerja juga akan terkoreksi,” kata Heri.

Heri menganalisa sektor lapangan pekerjaan akan turun minus 1,76 persen dan upah riil minus 1,73 persen.

Analisa senada juga disampaikan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara. Ketika berbincang dengan Inilah.com,  Bima mengatakan, dengan asumsi WFH tidak hanya diberlakukan untuk ASN tapi juga pegawai swasta non-esensial yang berpengaruh terhadap 40% pengeluaran rumah tangga di sektor transportasi, ada risiko kehilangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta sebesar Rp215,8 triliun sepanjang 2023.

“Asumsi rata-rata porsi pengeluaran rumah tangga untuk transportasi, rekreasi, komunikasi dan budaya sebesar 25,06% sepanjang 2018-2022 (sumber: BPS). Sementara asumsi konsumsi rumah tangga DKI untuk 2023 sebesar Rp2.153 triliun,” kata Bhima Yudhistira, Rabu (24/8/2023).

Bima - inilah.com
Analisa Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, PDRB DKI Jakarta akan kehilangan ratusan triliun bila menerapkan WFH ke seluruh pegawai di Jakarta. (Desain:Inilah.com/Hafiz).

Angka tersebut, dikatakan Bhima, baru dari sektor transportasi dan rekreasi, belum dari sektor lain. Jika WFH berefek membuat 30% pendapatan sektor hotel dan restoran berkurang, maka ada tambahan kehilangan sebesar Rp98,9 triliun.

“Asumsi porsi pengeluaran masyarakat DKI untuk hotel dan restoran 2018-2022 sebesar 15,3%,” kata Bhima seraya menyebut perhitungan itu belum memasukan kerugian atau kehilangan PDRB di kota penyangga sekitar Jakarta.

Menilik dengan simulasi ini, Bhima dapat memperkirakan bila WFH tidak akan ditaati oleh para pelaku usaha. Sebab, alih-alih menuntaskan masalah polusi, kebijakan ini justru mengganggu produktivitas usaha mereka.

Masalah Ada di Transportasi Kenapa Manusianya yang Dibatasi

Pernyataan yang kemudian diamini pelaku dunia usaha perhotelan dan restoran. “Kalau kami tentu tidak setuju ya (untuk WFH), karena pergerakan itu adalah sumber utama dari bisnis hotel dan restoran,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, kepada inilah.com, Jumat (25/8/2023).

Maulana mengatakan, secara market-nya, konsentrasi kegiatan dari sebuah korporasi ataupun lembaga pemerintahan terhadap okupansi hotel terbilang cukup besar, jika kemudian kembali diberlakukan WFH, sudah pasti akan mengganggu bisnis yang mereka miliki. Hal ini berkaca pada penerapan WFH saat masa pandemi dari tahun 2020 hingga 2022, yang telah nyata berdampak menurunkan okupansi bisnis hotel dan restoran.

“Kalau ada penurunan okupansi, dampaknya terhadap SDM (Sumber Daya Manusia) sudah pasti,” kata Maulana.

Oleh sebab itu, menurut Maulana, alasan pemerintah memberlakukan WFH atas pengalaman selama masa Covid-19 dinilai tidak tepat. Sebab terdapat perbedaan substansi antara WFH saat ini dengan WFH saat masa pandemi. Saat pandemi, pemberlakuan WFH dilakukan untuk membatasi penyebaran virus dari manusia ke manusia, sementara saat ini, membatasi pergerakan transportasi untuk menekan angka polusi.

Yu (1) - inilah.com
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, secara terang menolak kebijakan pemerintah menerapkan WFH. (Desain:Inilah.com/Hafiz).

“Substansi dari pada WFH (saat ini), itu kan untuk mengurangi pergerakan dari transportasi. Jadi sumbernya bukan karena manusia. Substansi utamanya  adalah transportasi atau kendaraannya,” kata Maulana.

Alih-alih menerapkan WFH, Maulana mengusulkan agar pemerintah melakukan evaluasi untuk menemukan titik masalah dari polusi udara. Misalnya kata dia, dengan mewajibkan para ASN untuk menggunakan transportasi umum.

Sementara itu, pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus menilai keputusan pemerintah menerapkan WFH sebagai kebijakan terburu-buru dan terlalu memaksakan. Kini, sambung Trubus, dengan menghadirkan WFH sebagai solusi menekan polusi udara, otomatis terdapat kewajiban yang harus dipenuh pemerintah bagi masyarakat, salah satunya kembali membuka keran anggaran bantuan sosial (Bansos).

“(untuk mengendalikan mobilitas) orangnya harus dikasih duit dan dikasih bansos. Kalau tidak dikasih bansos, orangnya tidak mau. Itu buang-buang duit. Anggarannya besar gitu loh,” kata Trubus. (Nebby,Clara,Rizky)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button