News

PPATK Bongkar 7 Modus Penyelewengan Dana Kampanye, Ini Kata Ketua MPR Bamsoet

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap sejumlah modus pelanggaran aturan dana kampanye dalam pemilu. Mulai dari menerima dana melebihi batasan sumbangan dana kampanye, menggunakan rekening pribadi, cash to cash ataupun cash to account, serta memanfaatkan badan usaha sebagai bentuk kamuflase.

Karena itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menggandeng PPATK dan membentuk gugus tugas untuk mengawasi penyimpangan ini.

“Salah satunya memperkuat kerja sama dengan PPATK dalam memantau dan mengawasi aliran atau transaksi keuangan para kontestan pemilu,” ucap Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Bamsoet berharap agar kerja sama dengan PPATK dapat meminimalisasi hingga mencegah terjadinya pelanggaran terkait dana kampanye peserta pemilu.

Selain itu, Bamsoet juga meminta kepada pihak penyelenggara pemilu untuk lebih memerhatikan modus pelanggaran aturan pengumpulan dana kampanye tersebut.

Caranya dengan membentuk gugus tugas yang terdiri atas Bawaslu, KPU, KPK, KIP, dan PPATK dalam rangka memperkuat basis pencegahan, penindakan, hingga penanganan perkara terkait pelanggaran atau penyalahgunaan dana kampanye.

“Mengingat praktik politik uang yang marak dalam pemilu membutuhkan banyak pihak untuk menanganinya,” ucap Bamsoet.

Ia meminta Bawaslu untuk secara aktif melakukan sosialisasi kepada peserta pemilu dalam rangka meminimalisasi pelanggaran dan penyelewengan terkait dana kampanye ini.

Selanjutnya, yang terpenting adalah komitmen para penyelenggara pemilu untuk terus berupaya mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran, mulai dari tahapan kampanye, masa tenang, hingga saat penyelenggaraan pemilu.

“Pasalnya, pihak penyelenggara pemilu harus terus memastikan pemilu di Indonesia adalah pemilu yang berintegritas,” pungkasnya.

Beragam Modus

Sebelumnya, PPATK mengungkap berbagai modus penyelewengan dana kampanye oleh peserta pemilu.

“Modus Pertama, menerima dana yang melebihi batasan sumbangan dana kampanye dari pihak lain perseorangan dengan memecah-mecah transaksi sumbangan,” ungkap Maimirza, Deputi Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan PPATK dalam Rapat Koordinasi Tahunan lembaga tersebut, Kamis (19/1/2023).

Padahal Peraturan KPU Nomor 34 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye mewajibkan peserta pemilu baik itu partai politik, calon presiden dan wakil presiden, atau calon anggota DPD membuat Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK).

Peserta pemilu dibatasi menerima sumbangan dana kampanye. Dari sumber perseorangan, peserta pemilu capres & cawapres dan partai politik hanya dapat menerima maksimum Rp 2,5 miliar, sedangkan DPD hanya boleh menerima maksimum Rp 750 juta.

Maimirza menambahkan, modus selanjutnya adalah penerimaan dana kampanye dari pihak perorangan kepada caleg via rekening pribadi, tidak melewati RKDK dan jumlahnya melebih ketentuan.

Ada juga yang melakukan setor tunia dalam jumlah signifikan, sehingga tidak teridentifikasi profil pihak penyumbang dana. Selain itu, menggunakan modus pemanfaatan sarana rekening lainnya yang tidak terdaftar sebagai RKDK, tetapi digunakan untuk menampung dan menggunakan dana.

“Mayoritas kondisi RKDK hanya untuk sarana penampungan dan kamuflase transaksi,” ujar Maimirza.

Ada pula modus lain, misalnya, dengan penjualan valuta asing dalam jumlah signifikan dari peserta pemilu maupun petugas partai. “Modus yang digunakan berupa cash to cash ataupun cash to account,” ujar Maimirza.

Petugas partai juga terkadang dilibatkan di luar struktur tim pemenangan, untuk digunakan sebagai pengelola sumbangan dana kampanye. Kadang, pekerjaan ini juga dilakukan oleh pihak ketiga.

“Ada pula indikasi pemanfaatan sarana koperasi sebagai sarana penghimpunan dan perpindahan dana kampanye,” ujar Maimirza.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button