News

Sekali Lancung ke Ujian, Mereka Minta Lagi Dipercaya…

“Sementara di luar negeri para koruptor dihukum mati, diasingkan, dan dimiskinkan, di negeri ini perlakuan terhadap mereka justru istimewa. Seolah tak ada yang peduli dengan nasib bangsa yang bisa terpuruk bangkrut”

Tentu banyak di antara kita yang pernah mendengar pepatah tua Melayu, “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Tak usah terlalu khawatir. Zaman berubah, elan telah lama berganti. Semua itu hanya berlaku di masa keberadaban dihidupkan, saat orang-orang masih menghargai kejujuran, integritas, moral dan akhlak. Di era disrupsi yang mengambyarkan semua, dan kala kredibilitas dan moral ditaikkucingkan, percayalah, lancung hingga mati sebagai ujung pun tampaknya tak mengapa.

Mungkin anda suka

Ini mungkin sejatinya membicarakan rahasia umum yang telah kita ketahui bersama. Boleh jadi semacam obrolan dongkol warga negara yang tengah didorong kenyataan merajalela menjadi kaum pesimistis; gerombolan putus asa akan nasib negara. Bagaimana tidak, jika deretan pilihan wakil rakyat pun tak steril dari kaum lancung yang pernah terbukti maling harta negara?

Tengok saja daftar calon sementara (DCS) yang sudah diumumkan KPU pekan lalu. Beberapa nama dikenal publik pernah tersangkut dalam perkara rasuah, alias sempat jadi narapidana korupsi. Di antara mereka terdapat Abdullah Puteh, caleg Nasdem untuk kursi DPR RI; Rahudman Harahap, mantan sekda yang tersangkut kasus korupsi dana tunjangan aparat desa Tapanuli Selatan; Abdillah (DPR RI), caleg Nasdem yang sempat dihukum karena korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaraan dan penyelewengan dana APBD; Susno Duadji (DPR RI), caleg PKB dapil Sumatera Selatan II yang terserimpung kasus korupsi pengamanan Pilkada Jawa Barat 2009.

Ada lagi Nurdin Halid dalam kasus korupsi minyak goreng Bulog; Budi Antoni Aljufri yang menikmati hotel prodeo gara-gara kasus suap sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang; Al Amin Nasution, caleg PDI-P di dapil Jateng VII yang dulu terantuk kasus suap proses alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan; Rokhmin Dahuri, caleg PDI-P dapil Jabar VIII yang terkena kasus korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan; Patrice Rio Capella, caleg dapil Bengkulu yang kena  kasus gratifikasi penanganan perkara bantuan daerah dan tunggakan dana bagi hasil di Sumut.

Ada nama Emir Moeis yang berjuang di dapil Kalimantan Timur dan sempat ternodai kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, pada 2004, juga muncul; Irman Gusman (DPD RI), tokoh kasus suap impor gula oleh Perum Bulog; Chinde Laras Yulianto dari dapil Yogyakarta, yang tercoreng kasus korupsi dana purna tugas Rp 3 miliar; Ismeth Abdullah, caleg DPD untuk Kepulauan Riau yang sempat tersengat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran tahun 2004, dan sebagainya.

Ilustrasi KPK menetapkan tersangka terkait kasus korupsi. Foto: Inilah.com/Agus Priatna
Ilustrasi KPK menetapkan tersangka terkait kasus korupsi. Foto: Inilah.com/Agus Priatna

Komitmen anti-korupsi parpol

Fakta itu membuat Indonesia Corruption Watch (ICW) kecewa. ICW menyayangkan masih adanya partai politik yang memberikan kesempatan kepada mantan terpidana kasus korupsi untuk menjadi bakal calon anggota legistlatif. Belakangan ICW bahkan mendesak partai politik membatalkan pencalegan mantan terpidana kasus korupsi itu. ICW beralasan, pencalonan mereka yang pernah menjadi pencuri uang negara itu dipastikan akan merugikan rakyat.

“Dorongan kami sederhana. Kepada partai politik untuk sesegera mungkin mencoret mantan terpidana korupsi dari Daftar Calon Sementara (DCS). Kesempatan itu masih ada,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana. Apalagi menurut dia, partai politik masih dimungkinkan mengganti bakal caleg mereka sebelum KPU menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT), awal November mendatang.

Kurnia mengatakan, desakan ICW kepada partai politik untuk mencoret nama mantan koruptor dari DCS itu bertujuan melindungi pemilih. “Hasil survei juga menunjukkan bahwa 99 persen masyarakat menolak eks terpidana menjadi caleg,”kata Kurnia, menunjuk pada hasil survey lembaga penelitian satu media massa nasional.

Bagi Kurnia, pencalonan koruptor bahkan akan memperburuk kepercayaan publik terhadap dua institusi penting demokrasi. Pertama, kepercayaan publik kepada parpol akan anjlok karena masih saja mengusung mantan koruptor. Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif juga akan anjlok apabila eks terpidana itu berhasil memenangkan kursi anggota dewan.

Pemikiran Kurnia itu diamini ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti. Bivitri mengatakan, pencalonan koruptor jelas akan merugikan masyarakat. “Apabila para (mantan) pencuri uang rakyat itu terpilih menjadi anggota dewan, mereka berpotensi berulah lagi karena sudah mengetahui modus ataupun metode melakukan korupsi,”kata Bivitri.

Persoalannya, menurut pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Malang, Catur Wido Haruni, aturan yang ada memang membolehkan. Ia menunjuk Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM. Pada pasal 43 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum. “Jadi secara normatif hak sipil dan politik diatur dalam UU HAM itu. Lebih jauh lagi, di dalam UU no 12 tahun 2005, tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. “Pada pasal 25 ayat q itu juga dinyatakan bahwa setiap warga negara itu mempunyai hak dan kesempatan tanpa membedakan apa pun. Jadi tidak ada diskriminasi,”kata dia. Itulah dasar hukum aturan Mahkamah Konstitusi yang kemudian membolehkan mantan koruptor kembali memakai ‘hak dipilih’ mereka.

 Percobaan KPU

Upaya untuk sepenuhnya memasukkan para mantan koruptor itu ke dalam kotak bukan tak ada sama sekali. Menjelang Pemilu 2019, KPU pernah membuat aturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi mendaftar menjadi calon anggota DPR, DPRD, dan DPD. Namun, setelah putusan itu digugat,  Mahkamah Agung membatalkan aturan KPU tersebut. MA saat itu menyatakan aturan KPU yang melarang mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif itu berlawanan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Salah satu alasan yang dikemukakan Mahkamah Agung, larangan tersebut melanggar hak asasi manusia, terutama hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih.

Yang setidaknya jadi penawar, keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56 Tahun 2019, yang mengharuskan mantan narapidana kasus korupsi menunggu lima tahun sebelum bertarung dalam pemilihan kepala daerah. Sayangnya ketentuan itu tidak disebutkan juga berlaku buat calon anggota legislatif.

Img 1837 - inilah.com
Eks komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang mengajukan uji materi PKPU nomor 10 dan 11 tahun 2023 soal eks narapidana boleh nyaleg ke Mahkamah Agung (MA), Senin (12/6/2023).(Foto:Inilah.com/Reyhaanah).

Di sisi lain, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, memandang ngeri pencalonan mantan koruptor tersebut. Ia yakin, pencalonan itu akan mengurangi rasa takut pejabat publik untuk melakukan korupsi. “Karena pada akhirnya mereka tetap bisa ikut berkompetisi memperebutkan kursi anggota dewan,”kata Saut. “Pencalonan mereka juga menimbulkan pesan yang salah kepada masyarakat. Itu akan mengurangi efektivitas deterrence (daya cegah) dalam memberantas korupsi.”

Kepada parpol, Saut mengatakan diusungnya mantan koruptor menjadi caleg itu jelas menunjukkan bahwa partai politik tidak serius memberantas korupsi. Di sisi lain, ia juga mempertamyakan komitmen parpol, karena pencalonan mantan koruptor juga mengkhianati masyarakat yang selama ini sudah menderita akibat praktik korupsi yang mereka lakukan.

Suara orang parpol

Namun ‘serangan’ para pegiat anti-korupsi itu ditepis ‘orang dalam’ partai politik yang mengusung para mantan koruptor tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Pusat  Bidang Teritorial Pemenangan Pemilu Partai Nasdem, Effendy Choirie, membela langkah partainya yang mengusung lima mantan terpidana kasus korupsi tersebut. Bagi Gus Choi—panggilan akrab Effendy– pengusungan kelima orang itu tidak melanggar ketentuan Pemilu.

“Semua yang direkrut (Partai Nasdem) secara hukum diperbolehkan. Secara moral boleh jadi dipertanyakan rekam jejak mereka (yang) korupsi, masuk penjara, dan segala macam. Tetapi secara hukum mereka sudah selesai,” kata Gus Coi, akhir pekan lalu.  Ia sendiri mengambil sikap untuk menyerahkan kepada rakyat untuk memilih atau pun tidak memilih caleg-caleg tersebut. “Kan rakyatlah penentu akhir, apakah seseorang layak menjadi wakil mereka atau tidak.”

“Kami sih ikut aturan saja,”kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat  Partai Kebangkitan Bangsa, Daniel Johan. Menurut Daniel, aturan dari Mahkamah Konstitusi itu diambil melalui proses panjang dan perdebatan yang keras. Kalau, misalnya, pembolehan itu mencederai hati rakyat, menurutnya solusinya pun gampang. “Ya jangan dipilih,”kata Daniel. “Ada yang diajukan pengabdian dan kepedulian kepada masyarakat yang tinggi. Rakyat yang meminta dia maju. Gimana, dong?” kata Daniel, santai.

Menurut Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Habib Aboe Bakar Al Habsyi, partainya tak pernah mencalonkan mantan koruptor. Korupsi, kata Aboe Bakar, termasuk kejabatan fatal di PKS yang memastikan seseorang tak akan lagi menjadi calon wakil rakyat. Pernah, kata dia, ada caleg bernama Munir dari Kalimantan Barat. Nama itu dimajukan karena desakan tokoh masyarakat di sana. “Pada tahun 2019 pengajuan nama itu ditolak DPP PKS,” kata dia.

Saat ditanya kemungkinan mahalnya biaya politik Indonesia sebagai penyebab maraknya korupsi di antara politisi, Aboe Bakar tak berani menjamin 100 persen hal itu sebagai penyebab.    “Bisa saja hal itu terjadi. Kalau benar, itu artinya kita perlu melakukan koreksi atas proses politik kita. Namun tentu tidak semua bisa dipukul rata bahwa ongkos politik adalah penyebab korupsi,”kata dia. Ia menunjuk korupsi dan pungli di Rutan KPK misalnya. “Apakah ada ongkos politik untuk menjabat sebagai petugas di sana? Kan tidak bisa disimpulkan sesederhana itu.”

Gedung Dpr 2 - inilah.com
Gedung DPR. (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan).

Rekannya sesama politisi, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Firman Soebagyo, menolak tudingan bahwa parpol, terutama Partai Golkar tidak memiliki komitmen pemberantasan korupsi. Menurut Firman, korupsi adalah salah satu buah Reformasi yang menjadikannya musuh bersama. “Jadi, semangat kami adalah memberantas korupsi. Kenapa demikian, karena idealnya anggota DPR itu orang-orang yang memang sudah mapan, baik dari sisi ekonomi dan semuanya,” kata dia. Dia sendiri menolak tudingan adanya setoran-setoran kepada elit partai, yang membuat biaya politik kian mahal.

“Tidak ada itu. Kami jadi caleg ini tidak ada budaya setor-menyetor,”kata dia. Yang berjalan di Golkar, kata dia, adalah adanya ukuran-ukuran atau ada parameter tertentu untuk mendaftar jadi caleg. “Kami punya yang namanya sistem scoring, yang diawali dengan “PDL”: Prestasi, Dedikasi, Loyalitas,”kata Firman.

Pembelaan kalangan parpol itu tidak menyurutkan keyakinan analis dan pengajar hukum di Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, yang sering dipanggil Castro. Herdiansyah menyatakan, dirinya tetap menilai bahwa problem utama korupsi politisi adalah partai politik. “Ini semacam paradoks partai politik,”kata Herdiansyah, “Ditugaskan menyaring kader-kader terbaik tapi justru menjadi rumah bagi para eks koruptor.” Baginya, menyilakan mantan koruptor jadi caleg sama saja dengan membuka pintu kepada mantan penjarah uang rakyat untuk kedua kalinya. “Seharusnya mereka dihukum untuk tidak dipilih kembali,” kata dia seraya menegaskan bahwa negara memang cenderung permisif terhadap para koruptor.

Mungkin, saking gemasnya, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyerukan agar seluruh rakyat Indonesia memboikot caleg mantan koruptor dengan tidak memilih mereka. “Mereka itu para pengkhianat, yang telah khianat kepada rakyat dan sumpah jabatan merek,”kata Bonyamin. Alih-alih melaksanakan janji untuk menyejahterakan rakyat, mereka malah melakukan korupsi. Bonyamin mengatakan, harusnya para mantan koruptor itu sadar diri, bersyukur dan tak lagi berusaha ikut kontestasi Pileg.

“Kalau di era kerajaan, itu mereka sudah ditumpas kelor, dihabisi sampai semua anggota keluarga,”kata dia.

Kegemasan Bonyamin tampaknya mewakili kalangan warga pemilih. Bagaimanapun jumlah anggota DPR/DPRD yang “bengkok” itu tidaklah sedikit. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selama 2004 hingga 2022 terdapat 310 anggota DPR/DPRD tersangkut kasus korupsi.

Nistanya koruptor di luar negeri

Barangkali masih tetap maraknya korupsi di kalangan pejabat juga disebabkan relatif ringannya hukuman untuk koruptor di Indonesia. Sudah begitu, mereka juga masih bisa berharap pemberian remisi yang mengalir setiap tahun. Akhirnya, muncullah hitung-hitungan ‘gila’ di masyarakat tentang korupsi sekian banyak, dikurangi biaya selama mendekam di penjara. Biasanya, selalu saja jumlahnya tetap merangsang hasrat jahat di dada.

Sedangkan di luar negeri, korupsi yang terbongkar tak ada lagi arti kecuali ‘mati’. Bisa mati harfiah, melepas nyawa, atau setidaknya ‘mati’ perdata, miskin semiskinnya atau jadi sampah masyarakat.

Di Cina, misalnya, mereka yang terbukti merugikan negara lebih dari 100.000 yuan atau sekitar Rp215 juta, pasti dihukum mati. Kasus pada 2018, Zhou Zhenhong, mantan chief United Front Work Department (UFWD), dijatuhi hukuman mati setelah terbukti mengambil lebih dari 24,6 juta yuan atau Rp43 miliar. Selain itu, mantan Menteri Perkeretaapian Cina, Liu Zhijun yang terbukti korupsi harus ikhlas dihukum mati.

Bagaimana proses hukuman mati di Indonesia?- inilah.com
ilustrasi hukuman mati (iStockPhoto)

Di negara jiran, Malaysia, sejak 1961 sudah dikenal undang-undang antikorupsi bernama Prevention of Corruption Act. Pada 1982, Badan Pencegah Rasuah (BPR) dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut. Pada 1997 Malaysia akhirnya memberlakukan undang-undang Anticorruption Act yang akan menjatuhkan hukuman gantung bagi pelaku korupsi.

Di Jepang memang tidak dikenal undang-undang khusus mengenai korupsi. Di negara itu, pelaku korupsi ‘hanya’ diganjar hukuman maksimal tujuh tahun penjara. Namun, karena budaya malu di negara itu tinggi, korupsi adalah aib besar bagi seorang pejabat negara. Pada 2007 lalu, Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Toshikatsu Matsuoka bunuh diri di tengah skandal korupsi yang melilitnya.

Di Korea Selatan para pelaku korupsi akan mendapatkan sanksi sosial yang luar biasa. Mereka akan dikucilkan masyarakat, bahkan oleh keluarga mereka sendiri. Salah satu contohnya mantan Presiden Korsel, Roh Moo Hyun. Karena dikucilkan keluarganya dan tidak kuat menahan rasa malu atas kasus korupsi yang menjeratnya, ia memilih bunuh diri dengan lompat dari tebing

Di sini? Kita tahu, para koruptor masih saja dielu-elukan warga yang mungkin berharap cipratan dana busuk mereka. Di penjara, mereka bisa leha-leha menikmati kehidupan luar biasa, sambil menanti remisi yang setiap tahun selalu pasti.  [Dsy/Rizky Aslendra/ Diana Rizky/ Reyhaanah/Clara Anna]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button