Market

Proyek Migas di Natuna Macet, Menteri ESDM Harap Rusia-Ukraina Segera Damai

Dampak perang Rusia dengan Ukraina telah menyebabkan beberapa proyek migas di Indonesia menjadi macet. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif mengakui hal itu, seperti rencana pengembangan migas di Pulau Natuna, Kepulauan Riau.

Perang Rusia-Ukraina terjadi sejak awal 2022 lalu dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhir. “Memang terganggu tapi (perusahaan) Rusia masih ada di sana. Terus bagaimana kita memutuskan siapa yang lanjutkan? Kita juga harus realistis siapa tahu baikan lagi. Kadang-kadang musuhan, musuhannya seru bertemannya juga seru,” ucap Menteri ESDM, Arifin Tasrif yang dikutip saat ditemui media di Gedung Kementerian ESDM, akhir pekan lalu.

Salah satu proyek migas yang kena imbas perang Rusia-Ukraina ialah Blok Tuna. Sampai saat ini, pengembangan Blok Tuna yang berada di Pulau Natuna belum bisa berjalan. Premier Oil Tuna BV selaku anak usaha Harbour Energy Group sebagai operator yang terkena sanksi Uni Eropa dan Inggris karena bermitra dengan BUMN Rusia, Zarubezhneft.

Sanksi ini merupakan respons invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun lalu. BUMN Rusia Zarubezhneft melalui anak usahanya ZN Asia Ltd tercatat memiliki 50 persen hak partisipasi proyek Lapangan Tuna, adapun 50 persen dimiliki oleh Harbour Energy.

Harbour Energy dalam laporan tahun 2022 menyampaikan, setelah Pemerintah Indonesia menyetujui rencana pengembangan lapangan Tuna di Desember lalu, pihaknya belum bisa menyampaikan kemajuan atas pengembangan blok ini.

Pada laporannya, manajemen Harbour Energy menyatakan kemajuan lebih lanjut dipengaruhi oleh sanksi Uni Eropa dan Inggris yang membatasi kemampuan sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu kepada mitra Rusia dalam lisensi Tuna.

Dalam cacatan Kementerian ESDM, proyek bernilai investasi sebesar US$ 1,050 miliar atau setara Rp 16,35 triliun itu memiliki peran penting bagi produksi gas yang rencananya bakal diekspor ke Vietnam pada 2026 mendatang. Adapun potensi gas yang dihasilkan dari Blok Tuna berada di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd).

Dengan berjalannya proyek ini, pemerintah akan mendapatkan gross revenue sebesar US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Adapun kontraktor gross revenue sebesar US$ 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$ 3,3 miliar.

Menteri Arifin berharap rencana pengembangan alias plan of development (PoD) WK Tuna dapat segera berjalan. “POD yang di Blok Tuna cari alternatif lain dari Harbour Energy. Mereka sementara menunggu proses pengalihan tentu mereka harus berizin dulu,” ujar Arifin.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button