News

Tanggapi Dalih KPU, Perludem: Jangan Bicara di Luar Konteks!

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai dalih Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak konstekstual dengan apa yang ingin disuarakan masyarakat. Ia menekankan, yang menjadi fokus permasalahan ini adalah menjaga 30 persen keterwakilan perempuan, bukan persoalan standar intenasional penghitungan matematika.

“Jadi, selama ini apa yang disampaikan KPU hanya menempatkan Pasal 8 Ayat 2 Huruf b sebagai rumus matematika yang digunakan secara internasional,” kata Titi di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).

Dengan adanya aturan pada PKPU 10/2023 tersebut, kata dia, daerah pemilihan (dapil) dengan jumlah kursi yang tersedia sebanyak 4, 7, 8, dan 11 akan menghasilkan keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen.

“Tetapi ini melepaskannya dari konteks bahwa undang-undang mewajibkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. Perempuan yang harusnya berkompetensi di Pemilu 2024, lalu tidak mendapatkan tiket itu karena keterwakilan perempuan didistorsi, dieliminasi oleh ketentuan itu,” ujar Titi.

Sebelumnya, Komisioner KPU Idham Holik menyebut, penghitungan 30 persen keterwakilan perempuan di pencalonan anggota legislatif dalam PKPU 10/2023 sudah sesuai standar penghitungan matematika.

“Ketika dilakukan pembulatan secara matematika murni, maka (dalam suatu angka pecahan apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai) 0 sampai 4, itu dibulatkan ke bawah dan 0,5 ataupun lebih itu dibulatkan ke atas. Itu kan standarnya, standar matematika,” ujar anggota KPU RI Idham Holik kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Senin.

Di samping itu, tambah Idham, ketentuan yang tepatnya diatur dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota merupakan turunan dari Pasal 246 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Diketahui, sejumlah aktivis perempuan yang menamakan tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, telah menyampaikan audiensi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) soal penolakan terhadap PKPU 10/2023. Khususnya, terkait Pasal 8.

Valentina Sagala, selaku perwakilan kelompok, memandang PKPU tersebut melanggar norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sekaligus juga bertentangan dengan Pasal 28H Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

“UUD 1945 memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara,” kata Valentina di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).

Valentina mengatakan, pihaknya memiliki tiga sikap perihal PKPU 10/2023, yang pertama menolak keberadaan Pasal 8 Ayat 2. Ia juga menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2×24 jam.

“Sesuai kewenangannya, Bawaslu harus menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi Pasal 8 PKPU 10/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pemilu,” lanjut dia.

Jika dalam waktu 2×24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, lanjut dia, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024. Mereka juga berencana melaporkan KPU ke DKPP dan juga melakukan uji materi terhadap PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (MA).

Adapun bunyi aturan dalam PKPU yang tolak tersebut berkaitan dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap Dapil. Bila menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:

a. Kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau

b. 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button