Kanal

Jika Para ‘Resi dan Begawan’ Ramai-ramai Turun Gunung


Meski ada juga yang terkesan hanya tak hendak ketinggalan semangat zaman (Zeitgeist), kampus-kampus terkemuka di berbagai daerah mulai mengkritik Istana. Akankah menjadi bahan bakar baru bagi ide pemakzulan Jokowi yang telah bergulir sebelumnya? 

Jika sejak Rabu (31/1) lalu sekian banyak guru besar di berbagai perguruan tinggi terkemuka seakan bersicepat berlomba menyatakan seruan mereka, hanya kaum yang telah semaput lama yang bisa bilang semua “baik-baik saja”. Di sisi lain, wajar bila ada yang mengingatkan hal itu nyaris serupa dengan kondisi 1998, menjelang terjungkalnya Pak Harto dan Orde Baru-nya yang fenomenal itu.

Sebermula seruan itu datang dari Bulaksumur, Yogyakarta. Kampus yang telah mengentaskan Jokowi sebagai bagian dari kaum terdidik Indonesia, hingga kini ia menjadi presiden kita. Tetapi mungkin justru fakta itu yang membuat civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) kian terbebani untuk memelopori. Melalui “Petisi Bulaksumur”, kalangan akademisi UGM itu menjawil Presiden Jokowi yang dinilai telah menyimpang.

“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” kata Guru Besar Psikologi UGM Prof Koentjoro,  membacakan isi “Petisi Bulaksumur”. Prof Koentjoro adalah guru besar psikologi yang meraih gelar PhD dari Universitas LaTrobe, Australia, dengan program master di bidang Ilmu Perilaku. Bersama sang profesor yang sudah berusia 69 tahun itu berjejer, antara lain, Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar, mantan Rektor UGM Sofian Effendi, Antropolog Bambang Hudayana dan banyak lagi.

Hanya dua hari kemudian, para guru besar di ‘Kampus Perjuangan’ Universitas Indonesia (UI) tak hendak lama-lama melongo menyaksikan perilaku politik yang menyelisihi demokrasi terus bergulir setiap hari. Pada hari keramat, Jumat (2/2), Ketua Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo menyerukan “Deklarasi Kebangsaan Kampus Perjuangan” di Gedung Rektorat. Deklarasi tersebut, kata para deklarator, adalah bentuk prihatin mereka atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi, khususnya peristiwa politik Pemilu 2024 yang dilakukan tanpa martabat dan keadaban. Prof Tuti juga menyoal hilangnya etika bernegara dan bermasyara-kat, terutama dengan menggilanya korupsi dan nepotisme. Prof Tuti adalah pendekar hukum yang telah mengajar di Fakultas Hukum UI sejak 1981. Ia mendapatkan gelar Doctor of Philosophy in Criminal Justice dari Sam Houston State University, AS.  

Yang menarik, kampus ‘adem-ayem’ seperti Universitas Padjadjaran pun kini menggeliat gusar. Bahkan tak tanggung-tanggung, sikap civitas akademika Unpad yang bertajuk “Seruan Padjadjaran” yang dibacakan Sabtu (3/3) itu ditanda-tangani 82 guru besar, 1.030 dosen dan alumni, dengan dukungan penuh mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad. Fakta kuatnya dukungan untuk “Seruan Padjadjaran” ini menarik, mengingat Jawa Barat selama dua Pilpres sebelumnya merupakan wilayah kemenangan Prabowo, calon yang kini justru didukung penuh Jokowi.

“Seruan Padjadjaran” dimulai dengan peribahasa Sunda “Ngadék sacékna, nilas saplasna”, yang merujuk keharusan akan konsistensi antara ucapan dan perbuatan, menjunjung kejujuran dan kearifan. Seruan dibacakan Ketua Senat Akademi Unpad, Prof Ganjar Kurnia di kampus lama Unpad, Jalan Dipati Ukur Bandung. Menurut Ganjar, nilai-nilai kejujuran, kearifan, serta konsistensi antara ucapan dan perbuatan sebagaimana ditegaskan kearifan Urang Sunda itu telah hilang dari penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Itulah, antara lain, yang membuat para akademisi Unpad bersatu dan bergerak menyeru.

Alhasil, dengan turunnya Unpad ke gelanggang perjuangan menegakkan etika, kejujuran dan demokratisasi tersebut, hingga 12 Februari mendatang lebih dari 30-an perguruan tinggi telah dan akan menyatakan sikap mereka terkait situasi politik negara.

Dalam catatan Inilah.com, setelah keluarnya pernyataan sikap civitas akademika UGM, 31 Januari, bermunculan pernyataan sikap dengan kepedulian dan rasa prihatin yang sama dari Universitas Islam Indonesia (UII) dan Universitas Khairun, Ternate, pada 1 Februari, Universitas Andalas-Padang (2/2/2024), UIN Sunan Kalijaga (2/2), UNHAS Makassar (2/2), Universitas Lambung Mangkurat (2/2),  Universitas Atma Jaya (2/2), Universitas Indonesia (2/2), Universitas Padjadjaran (3/2), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (3/2), LP3ES (3/2), Universitas Ahmad Dahlan (5/2), Universitas Sanata Dharma (12/2),  Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” (6/2), Universitas Muhammadiyah Babel (2/2), UIN Syarif Hidayatulah (5/2), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI/5/2), UNAIR (5/2), UMS Solo (5/2), ⁠Univ Jnanabadra Yogyakarta (5/2),  Universitas Brawijaya (5/2), STF Driyarkara (5/2), Universitas Islam Malang, IPB University (3/2), Universitas Trunojoyo Madura (7/2), Universitas Sriwijaya Palembang (4/2), Universitas Islam Bandung (5/2) dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Senin (5/2) besok. Daftar tersebut tak menutup kemungkinan banyak kampus lain yang luput kami catat.

Menariknya, yang mengemuka ke publik itu belakangan tidak sekadar seruan—katakanlah—normatif. Ada pula petisi yang terdengar ‘keras’ dan terkesan lebih ‘praktis’. Misalnya seruan yang datang dari Aliansi Alumni Perguruan Mu-hammadiyah. Pada butir pertama petisi, kalangan alumni Perguruan Muhammadiyah tersebut meminta “…seluruh warga dan simpatisan Muhammadiyah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk menghapus pasangan Prabowo-Gibran dari opsi pilihannya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 14 Februari 2024”, sebagaimana kami kutip verbatim. Judulnya pun memang terkesan lebih ‘sangar’ dari yang lain, “Petisi Hapus Prabowo-Gibran dari Pilihan”.

Dengan sekian banyak perguruan tinggi terkemuka menegaskan sikap mereka, wajar bila munculnya suara yang lain menjadi terdengar ‘sumbang’. Misalnya yang sayup-sayup bergaung dari Maklumat Alumni Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta Se-Indonesia. Kelompok yang merupakan kumpulan individu-individu alumnus perguruan tinggi mana pun se-Indonesia, dipimpin alumnus Universitas Trisakti, Tommy Rahaditia, itu justru mempertanyakan gelombang seruan dari berbagai perguruan tinggi yang sedang kuat-kuatnya meradang tersebut. Tommy  mengaku dirinya merasa aneh dengan apa yang disebutnya narasi negatif yang menyudutkan Presiden Jokowi.

“Indonesia saat ini sedang dalam kondisi baik-baik saja, tetap pada koridor,” ujar Tommy, yang ditemui Inilah.com di kawasan Dharmawangsa, Jakarta, Jumat (2/2) lalu.

Mungkinkah Jokowi Terjungkal?

Akankah ‘turun gunungnya’ para guru besar, resi-resi yang sekian lama ‘uzlah’ di tingginya menara gading berbagai kampus terkemuka itu akan mampu menyeru dan menggumpalkan kekuatan rakyat untuk mendesak pemerintah ‘sadar’? Mungkinkah akhir tragis kekuasaan Soekarno dan Soeharto akan kembali terulang?

Mungkin terlalu dini untuk bisa diprediksi. Yang jelas, kesamaan sejarah hari-hari ini dengan kejatuhan Soekarno di 1966 dan Soeharto pada 1998 hanya akan terjadi bila seruan dari kampus itu bersambut kemarahan publik. Dan di Indonesia, biasanya publik marah hanya karena satu hal: lapar. Urusan porandanya demokrasi, semenjijikkan apa pun, belum tercatat sebagai pemicu kemarahan rakyat. Urusan rakyat Indonesia masih terpulang ke 2,5 abad lalu, saat filosof Prancis, Voltaire, percaya bahwa rakyat yang lapar akan “Bangun dan menggigit!”

Juli tahun lalu, 100 tokoh terkemuka masyarakat yang tergabung dalam “Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat” mendesak DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Jokowi. Tuntutan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, terutama intervensinya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang membuat lembaga itu disebut banyak pengamat hukum berubah impoten. Ada setidaknya 10 alasan yang menurut mereka Jokowi layak diberhentikan sebagai presiden. Belakangan, setelah insiden ‘Mahkamah Keluarga’, Oktober 2023, gugatan Petisi 100 pun menguat.

Ada banyak tokoh terlibat dalam Petisi 100. Di antaranya mantan KASAD Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto, mantan Ketua MPR Amien Rais, Guru Besar UGM Zainal Arifin Mochtar, pengajar UNS M. Taufiq, Ketua Forum Umat Islam Yogyakarta KH Syukri Fadholi, ekonom Marwan Batubara, dan ulama Jawa Barat Rizal Fadhilah.

Apa daya, para wakil rakyat tak menyambut antusias. Tapi ya, harap maklum; dari sembilan parpol yang ngendon di DPR, dari 575 kursi yang ada, mayoritas pemilik kursi-kursi itu adalah partai pendukung Jokowi.

PDIP jadi pemilik kursi paling dominan, dengan 128 kursi. Komposisi seterusnya, Partai Golkar punya 85 kursi, Gerindra 78 kursi, NasDem (59), PKB (58), Demokrat (54), PKS (50), PAN (44) dan PPP dengan 19 kursi. Saat itu, koalisi pendukung Jokowi, yang terdiri dari PDIP, Golkar, NasDem, PKB, dan PPP memiliki 349 atau 60 persen kursi DPR. Dengan komposisi itu, para wakil rakyat dari partai koalisi Jokowi pun menjadi tembok kokoh yang mematahkan gugatan Petisi 100.

Persoalannya, dengan bergulirnya proses Pilpres plus sekian banyak kejadian di dalamnya, sejatinya proses pemakzulan menjadi bukan lagi “hil yang mustahal”. Katakanlah PDIP (dengan PPP sebagai mitra koalisi Paslon 03) punya 128 dan 19 suara, atau 147 suara. Ditambah suara Nasdem (59), PKB (58) dan PKS (50), gabungan koalisi Paslon 01 dan 03 bisa membungkus 314 suara. Itu sudah 55 persen suara di DPR!

L’histoire se repete—sejarah mengulang dirinya sendiri, kata pepatah Prancis. Ulangannya seringkali  tergantung pada kedewasaan warga komunitas tersebut.  “Mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya,” kata George Santayana, penulis terkemuka Spanyol dari abad lalu. Apa yang menimpa Soekarno dan Soeharto di akhir lakon mereka, tentu saja sangat bergantung pada respons kita, warga negara Indonesia. Alhasil, kini tergantung rakyat pula, apakah kita perlu mengulang sejarah lagi? [dsy/clara anna]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button