Kanal

Menuju “Pemilu yang Mengakhiri Semua Pemilu”?


Indonesia belumlah Alengka dengan penguasa Rahwana Sang Dasamuka, dengan abdi dan menteri Kumbakarna yang hanya tahu makan-minum-pesta dan masa bodoh dengan rakyat. Atau Sarpakenaka, Goebbels dunia wayang yang ahli membentuk opini, mencipta citra dan punya gendam yang bisa menyihir orang mabuk kepayang dan cinta tak alang kepalang. Indonesia seharusnya bukan Alengka yang tidak acuh pada imbauan dan kritik Gunawan Wibisana si arif bijaksana

Oleh    : Darmawan Sepriyossa

Akhir bulan lalu, Ian Wilson, pengajar senior di Universitas Murdoch, Perth, Australia, yang saat ini tengah menjadi rekan peneliti di ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura, menulis sebuah catatan politik yang menarik. Catatan yang awalnya hanya dimuat di blog terbatas lembaga pemikiran Singapura itu, “Fulcrum”, segera diangkat pula di beberapa media massa terkemuka, di antaranya Channel News Asia, dan—kalau tak salah—The Straits Times

Ada dua hal kait-mengait yang dikemukakan Wilson yang menarik untuk diangkat di sini. Pertama, Wilson memakai frasa panjang “Pemilu yang dapat mengakhiri semua Pemilu– an election that could end all elections” dalam judul artikelnya. 

Yang kedua, sebagai bagian dari alasan penggunaan frase tersebut, Wilson mengangkat prediksi seandainya pasangan calon Prabowo-Gibran Rakabuming terpilih. Prabowo, kata Wilson, akan menghilangkan oposisi di Parlemen dan membatasi munculnya basis kekuatan yang saling bersaing. 

Bagi Wilson, itu adalah persoalan. Ia menunjuk kondisi yang tak menumbuh-kembangkan demokrasi yang terjadi di Parlemen selama kurun 2019 hingga saat ini. Semua itu, menurutnya, berawal dari pemerintahan Presiden Jokowi yang tampak alergi dengan keberadaan oposisi. Semua partai dirangkul—dengan atau tanpa  alasan ‘kohesi nasional’–serta dikooptasi ke dalam koalisi besar. Memang, Senayan pun relatif tenang, tanpa hiruk pikuk persidangan. Tahu-tahu muncullah UU IKN, UU Ciptakerja, UU Minerba, sebagai sedikit contoh yang kemudian dipertanyakan, bahkan ada yang ditentang keras oleh publik. 

Ia meramalkan, apalagi seolah dijustifikasi Prabowo sendiri yang berulang-kali menyatakan akan “meneruskan Jokowi”, masa kepresidenan Prabowo andai ia terpilih, akan diisi oleh perluasan pendekatan pemerintahan yang “tanpa oposisi”. Semua itu akan berjalan mulus dengan bingkai kiasan nasionalistis yang mengedepankan frasa “menjaga persatuan”. Akibatnya, demokrasi pun meredup, segala urusan negara akan diselesaikan melalui negosiasi dan kesepakatan antarelite. Konsensus dikedepankan untuk seolah mengambil laku para founding fathers negara. Tetapi semua itu sejatinya tak lebih dari praktik untuk memperkuat kekuasaan eksekutif semata. 

Ibarat ahli nujum post-modern, Ian melihat besarnya kemungkinan kepresidenan Prabowo akan mengajak dan memfasilitasi kembalinya bangsa kepada UUD 1945. Bukan lagu baru karena sudah begitu banyak kelompok masyarakat yang menghendaki hal itu. Masalahnya, tak semua kelompok yang menggaung-gaungkan “Kembali ke UUD 1945” itu menyadari ada konsekuensi besar di belakangnya. Apa? Itu berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999 dan 2002, yang mendukung Pemilu demokratis, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pembatasan masa jabatan presiden (hanya dua periode lima tahunan), tulis Ian.  Sementara kita tahu, bahkan Presiden Jokowi yang awalnya digadang-gadang sebagai “Orang Baik” pun tak lulus dalam ujian menahan diri hanya untuk berkuasa dua periode ini. Tidak cukupkah kita belajar dari sejarah dua presiden kita, Soekarno, Soeharto, untuk urusan itu? 

                                                ***

Selama sepekan ini, keprihatinan terhadap guliran proses Pilpres bergaung dari kampus. Di jalanan, para mahasiswa kembali turun meneriakkan keprihatinan mereka. Di sisi lain, kita belum melihat respons yang proporsional datang dari Istana. Yang justru muncul adalah tudingan bahwa gerakan para guru besar yang sebagian sudah sepuh itu partisan di ‘digerakkan’. Datangnya justru dari anak buah Presiden yang masih tergolong anak muda, Bahlil Lahadalia. 

Seraya mendaku diri sebagai mantan aktivis kampus—ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Bahlil menyebut gerakan moral para guru besar berbagai kampus di Indonesia itu gerakan partisan. “Sudahlah, mana ada politik tidak ada yang ngatur-ngatur. Ini penciuman saya sebagai mantan ketua BEM, ngerti betul barang ini,” kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (5/2).

Jelas, kita tidak melihat bahwa Istana mencermati gerakan para guru besar ini dengan bening hati. Barangkali, pola pikir yang picik memang terbiasa mengukur orang lain sesuai perilaku sendiri. 

Karena Presiden Jokowi adalah seorang Jawa, pada tempatnya bila kita berharap beliau sedikit mengingat kembali cerita pewayangan Jawa, terutama yang sedikit berkaitan dengan epos Ramayana kemudian. Paling tidak, cerita ini memang memungkinkan munculnya Epos Ramayana, yakni perjuangan Sri Rama menaklukan angkara murka di Alengka. 

Sebagai presiden yang hendak turun tahta, ia layak mengidentikkan diri dengan Begawan Wisrawa, raja tua yang hendak turun tahta, dengan memberikan singgasana kepada anaknya. Raja tua yang tulus itu bahkan bermaksud mencarikan permaisuri bagi anaknya karena Raja Muda belum beristri. 

Namun kita pun tahu, Begawan Wisrawa gagal. Alih-alih mewariskan ajian Sastra Jendra Hayuningrat yang diinginkan Dewi Sukaesih sebagai mas kawin pernikahan dengan anaknya, sang Begawan malah menghamili Sang Dewi. Dari laku rucah itu lahirlah empat orang bayi yang tumbuh dengan ajaib, cepat besar, berkuasa dan merusak tatanan sosial, kecuali yang terakhir:  Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Wibisana. 

Rahwana si Dasamuka adalah penguasa angkara murka yang berwajah banyak; Kumbakarna adalah representasi kaki tangan penguasa yang hanya tahu makan-minum, pesta dan masa bodoh dengan rakyat. Telinganya yang panjang hanya digunakan untuk selimut yang menyamankan tidurnya, seraya menutup lubang kuping dari suara-suara yang menginginkan keadilan. 

Sarpakenaka adalah Goebbels di dunia wayang, seorang ahli pembentuk opini dan pencipta citra. Ia juga memiliki gendam, ilmu yang bisa menyihir orang jadi mabuk kepayang dan cinta tak alang kepalang. Sang bungsu, si bijaksana Gunawan Wibisana, meski terus mengingatkan kakak-kakaknya, tak pernah didengar suaranya. Lebih sering ia tak diacuhkan, meski ketiga kakaknya tahu Wibisana seorang yang tulus. Manakala kekuatan baru yang menginginkan perubahan dan keadilan bangkit, Wibisana dengan gampang ditunjuk para bangsawan penjilat di Alengka sebagai kekuatan partisan pendukung Sri Rama. 

Kita tahu akhir cerita yang mengisi kepala kita semua saat muda itu. Rahwana hancur, begitu pula Alengka. Negeri itu surut ke belakang, seolah mengulang kalimat penjaga stasiun pengisian bahan bakar,”Mulai dari nol, ya….” Kecuali hikmahnya, tentu saja ada yang sia-sia dari “berjuang kembali dari awal lagi” itu. 

Hari-hari menjelang pencoblosan kian dekat. Tapi mengapa yang teringat di kepala justru nada kekhawatiran William Liddle dalam artikelnya, “Jangan Merusak Demokrasi”, yang ia tulis di Kompas, akhir Januari lalu. Ia, mengutip seorang  pengamat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), kuatir akan kian meningkatnya potensi terjadinya konflik pasca-Pemilu 2024 nanti. Semoga saja konflik tersebut tak terjadi. [  ] 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button