News

Tantangan Berat Konferensi Iklim COP28 Dubai, RI Siap Berikan Contoh Nyata

Konferensi Perubahan Iklim PBB, COP28 dimulai di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) Kamis (30/11/2023) ini. Para pemimpin dunia akan membahas langkah-langkah lebih tegas mengatasi tantangan lingkungan yang semakin meningkat. Indonesia percaya diri dan siap menjadi contoh bagi negara lain dalam hal pengurangan emisi.

Konferensi Para Pihak tahunan ke-28 berlangsung dari 30 November hingga 12 Desember. Diperkirakan akan menjadi yang terbesar, dengan lebih dari 70.000 peserta berasal dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta akan hadir.

Mungkin anda suka

Setelah setahun mengalami suhu yang memecahkan rekor dan peristiwa cuaca ekstrem, pertemuan puncak ini diadakan pada saat yang kritis dimana para aktivis mendesak pemerintah mengambil tindakan tegas untuk mengatasi perubahan iklim. Meskipun ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi darurat iklim, konferensi ini menghadapi beberapa tantangan.

Mengutip The New Arab (TNA), keputusan untuk menjadi tuan rumah konferensi di UEA telah menuai kritik dari para aktivis iklim, yang merujuk pada catatan lingkungan hidup dan hak asasi manusia di negara Teluk tersebut. UEA adalah salah satu dari 10 negara penghasil minyak terbesar di dunia dan mendapat kritik karena tidak bertindak lebih tegas dalam menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap. 

COP28 akan dipimpin oleh Sultan Al Jaber, pimpinan perusahaan minyak milik negara UEA, Adnoc, dan mantan pimpinan perusahaan energi terbarukan Masdar. Perwakilan dan pelobi dari industri minyak dan gas kemungkinan besar akan hadir dalam konferensi tersebut. COP27 tahun lalu dihadiri lebih dari 600 delegasi bahan bakar fosil, lebih banyak dari delegasi negara mana pun.

Kepresidenan UEA telah menegaskan bahwa industri ini mempunyai peran penting dalam perjuangan global melawan perubahan iklim, sebuah sentimen yang juga diamini oleh sekretaris eksekutif Perubahan Iklim PBB, Simon Stiell. “Penting bagi kita untuk menyadari bahwa industri bahan bakar fosil harus menjadi bagian dari solusi,” katanya.

Konferensi COP27 tahun lalu di Sharm El-Sheikh, Mesir berakhir dengan hasil yang mengecewakan ketika negara-negara gagal berkomitmen melakukan penghentian bertahap bahan bakar fosil, dan malah memilih janji ‘mengurangi secara bertahap’. Setelah perdebatan sengit pada KTT tahun lalu dan tekanan selama puluhan tahun dari negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, COP27 berhasil mencapai kesepakatan penting untuk membentuk Dana Kerugian dan Kerusakan. 

Dana ini dimaksudkan untuk membantu negara-negara berkembang, yang secara historis memberikan kontribusi paling kecil terhadap perubahan iklim namun sering kali merupakan pihak yang paling terkena dampaknya. Muncul pertanyaan besar mengenai dana tersebut, termasuk dari mana pendanaan akan berasal dan bagaimana dana tersebut akan dikelola, masih belum dapat ditentukan. 

Pada bulan September 2023, laporan Global Stocktake pertama PBB menemukan bahwa dunia tidak akan mencapai target yang diperlukan untuk mencegah dampak bencana iklim. Mereka memperingatkan bahwa peluang untuk mengambil tindakan tegas guna menjaga pemanasan global di bawah ambang batas 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris tahun 2015 “dengan cepat menyempit”.

Laporan tersebut menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap. Namun meskipun demikian, emisi global terus meningkat. Berdasarkan janji-janji yang ada saat ini, dunia akan mengalami kenaikan suhu sebesar 2,5-2,9°C dibandingkan suhu pada masa pra-industri pada tahun 2100. 

Apa Agendanya?

Kepresidenan UEA telah menetapkan empat tema utama untuk KTT ini: transisi energi, pendanaan iklim, ketahanan iklim, dan inklusivitas. Dua perdebatan yang kontroversial yakni penghapusan bahan bakar fosil serta Dana Kerugian dan Kerusakan untuk negara-negara miskin diperkirakan akan mendominasi agenda tersebut.

Negara-negara diharapkan merevisi Kontribusi Nasional (NDC) mereka dan berkomitmen terhadap target yang lebih ambisius untuk mengurangi emisi dan melakukan transisi menuju energi terbarukan. Tahun ini, kemungkinan besar akan ada desakan untuk menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap, sebuah kualifikasi yang mengacu pada emisi yang tidak ditangkap sebelum dilepaskan ke atmosfer. Selain itu, juga akan ada dorongan untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan global pada akhir dekade ini.

Indonesia Siap jadi Contoh

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengungkap progres aksi iklim Indonesia. Ia menyatakan, Indonesia siap menjadi yang terdepan dengan memberi contoh nyata pada COP28 dengan agenda penurunan emisi GRK dari sektor energi melalui agenda dekarbonisasi dan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang sudah dirintis sejak Presidensi G20 Indonesia. 

“Indonesia termasuk negara yang cukup maju dalam aksi iklim dan upaya pengurangan emisi GRK (gas rumah kaca) dan siap untuk meningkatkan ambisi untuk mencapai target pengurangan emisi GRK pada tahun 2030,” kata Siti Nurbaya, dalam keterangannya jelang perhelatan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu (29/11/2023).

post-cover
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar saat membuka Paviliun Indonesia di COP28 yang digelar di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab.

Siti memaparkan target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri pada Updated Nationally Determined Contribution sebesar 29 persen meningkat ke 31,89 persen pada Enhanced NDC (ENDC). Sementara, target dengan dukungan internasional sebesar 41 persen meningkat ke 43,20 persen pada ENDC.

Menurut Siti target tersebut akan ditingkatkan pada NDC kedua yang saat ini tengah dipersiapkan, di antaranya dengan meningkatkan peningkatan serapan GRK dari mangrove dan padang lamun, serta pengelolaan emisi metana dalam pengelolaan limbah.

“Dalam perkembangan posisi internasional yang kami monitor hingga sekarang, tercatat bahwa target minimal penurunan emisi GRK diharapkan kepada setiap negara untuk menurunkan emisi sebesar 43 persen pada tahun 2030; sebesar 50 persen pada tahun 2035, dan net zero emission pada tahun 2050,” jelas Siti. “Dengan kondisi ini maka sesungguhnya Indonesia sudah bisa committed dengan angka NDC sebesar 43,2 persen; dan itu pun sedang di improve dengan NDC kedua pada tahun 2024,” imbuhnya.

Tidak hanya itu, data emisi karbon Indonesia yang sudah terverifikasi pada 2019 tercatat sebesar 1,84 GigaTon CO2eq; tahun 2020 sebesar 1,05 GigaTon CO2eq; tahun 2021 sebesar 1,14 GigaTon CO2eq; dan tahun 2022 sebesar 1,20 GigaTon CO2eq.

Data ini menunjukkan emisi tahun 2019 menurun sebesar 62 JutaTon CO2eq; tahun 2020 penurunan emisi sebesar 945 juta ton CO2eq; tahun 2021 penurunan sebesar 890 JutaTon CO2eq dan tahun 2022 penurunan emisi sebesar 884 Juta Ton CO2eq dibandingkan dengan emisi dari emisi pada business as usual dengan tahun dasar 2015.

Angka tahun 2022 ini menunjukkan penurunan sampai dengan 42 persen dari business as usual. Gambaran data menunjukkan bahwa masih tinggi emisi dari sektor energi sebesar 715 JutaTon CO2eq, sedangkan dari sektor pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) hanya 221 JutaTon CO2eq. Menurut dia Indonesia sedang kerja keras mengatasi dari sektor energi dan akan terus memantapkan sektor FOLU.

Indonesia, kata Siti, juga termasuk negara yang siap dengan instrumen pengelolaan karbon, di antaranya dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) selanjutnya diatur melalui Peraturan Menteri LHK Nomor P.21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan NEK.

Selain itu, telah terbit pula peraturan pendukung lain pada beberapa peraturan di masing-masing sektor seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan NEK Sub Sektor Pembangkit Tenaga Listrik, Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan hingga Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon, yang telah diluncurkan Jokowi pada 26 September 2023.

Terkait hutan, Indonesia juga telah berhasil mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta penurunan deforestasi sangat rendah sebesar 104 ribu hektare tahun 2022. Indonesia juga sudah merintis pada COP 26 UNFCCC di Glasgow dengan FOLU Net Sink 2030 yang sekarang menjadi referensi internasional bagi pengelolaan hutan.

“Dalam memperkuat peran Indonesia sebagai leader untuk Forest Climate, Indonesia telah menginisiasi kerja sama penguatan peran hutan antara RI-Brasil-Republik Demokratik Kongo/RDK (Trilateral IBC). Semangat IBC juga telah diperluas dan diperkenalkan pada pertemuan Archipelagic and Island States (AIS) di Bali, untuk selanjutnya dikembangkan dengan negara AIS antara lain Filipina, Suriname, dan lainnya,” jelasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button