Market

Tingginya Inflasi AS Menguji Kesaktian Ekonomi RI

Inflasi AS melesat jauh di atas ekspektasi bulan Juni 2022, sekaligus mencatat lonjakan terbesar sejak 1981. Indonesia pun bakal terimbas dan tentu saja membutuhkan kewaspadaan mengingat kondisi ini bisa memicu resesi ekonomi.

Departemen Tenaga Kerja AS mencatat indeks harga konsumen (CPI) AS naik 9,1 persen pada Juni 2022 dari periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy). Dibandingkan bulan sebelumnya, CPI AS naik 1,3 persen, terbesar sejak 2005. Adapun CPI inti, yang menghilangkan komponen makanan dan energi yang lebih mudah berubah, naik 0,7 persen mom dan 5,9 persen yoy.

Inflasi AS tercatat selalu berada di atas 6 persen selama enam bulan berturut-turut. Angka inflasi yang tinggi sejak pandemi, bertambah kuat seiring perang Rusia dan Ukraina. Apalagi AS terlibat dalam konflik ini. Laju inflasi yang kuat ini memperparah tingkat pengangguran yang sudah turun ke level terendah baru dua tahun di 3,6 persen pada Maret.

Meroketnya inflasi AS memperkuat peluang setidaknya pergerakan suku bunga acuan 75 basis poin dan mendorong ekspektasi untuk kenaikan serupa pada bulan September 2022. Investor memprediksi The Fed dapat menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin pada pertemuan 26-27 Juli 2022.

Pejabat Federal Reserve (The Fed) kemungkinan memperdebatkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin, yang bisa mencetak sejarah, pada akhir bulan ini setelah laporan inflasi Juni 2022 tersebut.

Melihat kondisi ini, banyak kalangan memprediksikan perekonomian AS akan tertahan bahkan diperkirakan mengalami resesi. Bahkan resesi di AS diperkirakan berlangsung lebih cepat, yaitu pada kuartal II-2022.

Berdasarkan data Pendapatan Domestik Bruto (PDB), The Atlanta Federal Reserves memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS hanya 0,9 persen pada kuartal II-2022 atau turun dari kuartal I yang tumbuh 1,5 persen. Kondisi penurunan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut merupakan salah satu tanda resesi. Konsumsi rumah tangga yang menopang 70 persen PDB AS, diperkirakan hanya mampu tumbuh 3,7 persen, turun dari proyeksi sebelumnya 4,4 persen.

Dalam laporan Global Economic Prospect June 2022 (GEP), Bank Dunia menyebutkan AS termasuk salah satu negara yang terancam mengalami resesi. Bank Dunia mengatakan ancaman resesi ekonomi global sudah di depan mata dan sulit dihindari negara-negara di dunia.

Tak hanya AS, beberapa negara seperti Jepang, China, Korea Selata,n dan negara-negara Eropa diprediksi ikut terseret ke dalam jurang resesi akibat inflasi yang terus meningkat. Tak hanya negara maju, negara berkembang seperti Indonesia pun berisiko mengalami resesi ekonomi.

Indonesia Waspada

Tingginya inflasi diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga AS atau The Fed Rate yang luar biasa ini dapat memicu terjadinya resesi di Indonesia. Indonesia pun harus waspada.

Salah satu yang menjadi perhatian penting adalah menjaga laju inflasi di dalam negeri. Tak bisa dipungkiri, inflasi masih akan naik karena faktor volatile food, administered prices, dan juga imported inflation. Karena itu ekonom menyarankan, tindakan segera Bank Indonesia (BI). Kenaikan suku bunga acuan BI, diharapkan bisa menahan expected inflation yang terlalu besar.

Penaikkan suku bunga acuan, bukan semata untuk menahan lonjakan inflasi tapi juga untuk menahan pelemahan rupiah. Apalagi tekanan terhadap nilai tukar makin kuat. Nilai tukar rupiah saja saat ini sudah di kisaran Rp15.000 per dolar AS. Dengan menjaga nilai tukar rupiah berarti pula dapat menahan keluarnya modal asing.

Direktur Riset Center of Reform on Ekonomics (Core) Piter Abdullah menyarankan pemerintah sementara tidak menaikkan harga barang-barang subsidi, seperti Pertalite, gas 3 kg, dan listrik di bawah 900 VA, agar inflasi di dalam negeri tidak terlalu tinggi.

Sementara Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi memperkirakan pasar Indonesia saat ini akan menghadapi kenaikan suku bunga BI yang lebih tinggi yaitu sebesar 50 basis poin di bulan ini. “Jika BI tidak mengambil respons yang cepat, nilai tukar rupiah akan berlanjut melemah dan berpotensi mencapai level Rp15.500 per dolar AS,” ucapnya.

Indonesia Relatif Stabil?

Apa kata pemerintah? Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui adanya dampak dari inflasi global yang terjadi di tengah krisis geopolitik akibat perang Rusia vs Ukraina. “Kenaikan inflasi yang diikuti pengetatan moneter suku bunga dan likuiditas ini menciptakan konsekuensi resesi. Jangan sampai ada regulasi yang memperburuk risiko global, tapi kita tetap siapkan,” ujarnya di Nusa Dua, Bali.

Menkeu mengatakan Indonesia dalam risiko yang relatif stabil jika dibandingkan negara lain yang potensi risikonya di atas 70 persen sesuai survei Bloomberg. Menurutnya, Kemenkeu telah menggunakan semua instrumen kebijakan fiskal, moneter, finansial, dan regulasi lain untuk memonitor terutama potensi eksposur korporasi.

Menurutnya, pasca krisis 2008 kondisi keuangan Indonesia lebih prudent. Pasalnya, angka kredit macet (non-performace loan) NPL terjaga, eksposur pinjaman luar negeri turun, dan korporasi juga memiliki hedging. “Daya tahan kita lebih baik. Makanya probabilitas kecil, tapi tetap waspada sampai tahun depan,” ungkapnya.

“Ini tidak berarti kita terlena, tapi tetap waspada. Namun, pesannya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan, naik itu fiskal, moneter, sektor finansial, dan regulasi lainnya untuk memonitor itu (potensi resesi), termasuk kondisi dari korporasi Indonesia,” tegas Sri Mulyani.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dalam kajian tengah tahunnya mengungkapkan, kondisi ekonomi global memang akan mendorong inflasi dan lonjakan harga. Hal itu berimbas ke Indonesia karena produktivitas perekonomian lemah serta menimbulkan dilema fiskal dan moneter. Indef pun menyarankan memperkuat kemandirian ekonomi dan memperkokoh fundamental ekonomi di dalam negeri.

Dari mulai harus meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri serta memupuk kemandirian fiskal dengan refocusing dan peningkatan kualitas belanja APBN. Termasuk menunda/membatalkan program yang bukan kebutuhan yang mendesak, seperti pembangunan ibu kota baru (Ibu Kota Negara/IKN).

Saran lainnya adalah peningkatan penggunaan produk dalam negeri pada sektor industri prioritas dan UMKM serta mempercepat industrialisasi melalui hilirisasi sumber daya alam, salah satunya dengan mendorong peran investasi/penanaman modal. Selain itu mempercepat realisasi kerja sama perdagangan dengan negara non tradisional agar kinerja ekspor tidak tergantung pasar tradisional.

“Juga memperkuat pertahanan pasar domestik dari serbuan impor yang tidak produktif bagi perekonomian dengan cara menyusun non-tariff measures yang lebih variatif dan beragam,” saran INDEF.

Yang jelas, ancaman resesi bukan hanya isapan jempol. Sudah terbukti beberapa negera mengalami krisis gara-gara tekanan perekonomian global. Ketidakpastian ekonomi dunia ini membutuhkan kewaspadaan, kepekaan dan sense of crisis yang harus dilakukan semua orang jika tak ingin masuk ke jurang resesi. Jangan sampai Indonesia kalah dalam adu kesaktian antara dampak inflasi AS dengan perekomian dalam negeri.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button