Market

Ngeri-ngeri Sedap, Prediksi BI Soal Inflasi dan Rupiah Terkait BBM

Bank Indonesia (BI) menyampaikan prediksi inflasi dan nilai tukar rupiah terkait rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Prediksinya terbilang ngeri-ngeri sedap karena juga dipengaruhi situasi global.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan tekanan inflasi akan terus mengalami peningkatan ke depan. Hingga akhir 2022, inflasi diperkirakan akan mendekati level 5 persen. Sementara pada tahun depan, Perry mengatakan tingkat inflasi juga berisiko melebihi level 4 persen, seiring dengan ketidakpastian global yang masih sangat tinggi.

“Inflasi inti dan ekspetasi inflasi diprakirakan berisiko meningkat akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi dan inflasi kelompok volatile food, serta semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan,” kata Perry Warjiyo, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (31/8/2022).

Prediksi inilah yang menjadi dasar keputusan peningkatan suku bunga acuan alias BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7DRR) dari 3,5% menjadi 3,75% pada Agustus 2022. “Inflasi nanti juga akan sangat dipengaruhi bagaimana kebijakan fiskal berkaitan dengan penyediaan subsidi untuk berbagai hal,” imbuh Perry.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2022 (month to month/mtm) mengalami deflasi 0,21 persen. Meski demikian, laju inflasi secara tahunan sudah menembus 4,69 persen. “Secara bulanan, ini deflasi terdalam sejak September 2019, saat itu deflasi 0,27 persen,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, Kamis (2/8/2022).

Dia mengatakan secara tahunan inflasi Agustus 2022 mencapai 4,69 persen dan secara tahun kalender 3,63 persen. Adapun, komoditas utama penyumbang deflasi adalah bawang merah, cabai merah, cabai rawit, minyak goreng, dan daging ayam ras. Margo mencatat telur ayam ras dan beras menjadi sumber inflasi yang cukup tinggi terhadap inflasi dalam kelompok makanan-minuman dan rokok filter kretek.

Berdasarkan data BPS, telur menyumbang inflasi pada bulan Agustus sebesar 0,022 persen secara year on year (yoy) dengan harga rata-rata Rp29.014 per kilogram. Sedangkan beras menyumbang inflasi 0,016 persen.

Masih menurut BI, tingkat inflasi akan dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang berkaitan dengan penyediaan subsidi untuk berbagai hal. Pemerintah sudah melakukan respons yang cukup baik dalam menekan laju inflasi dengan melakukan pengendalian harga pangan lewat Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah (TPPIP-TPPID).

“Dalam Rakornas TPPIP-TPPID, Pak Presiden menginstruksikan pengendalian pangan ini kerja sama dengan daerah. Mulai dari operasi pasar, bahkan gunakan anggaran darurat pemda untuk kendalikan inflasi,” tambah Perry Warjiyo.

Kemudian dari sisi moneter pemerintah melakukan intervensi di pasar valas, operasi twice maupun menaikan suku bunga, selain itu pemerintah juga melakukan insentif ke bank-bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM.

Rupiah Bisa di Atas Rp15.000

Terkait nilai tukar rupiah, BI juga memperkirakan masih akan mendapat tekanan. Bank sentral Indonesia ini memprediksikan rupiah bergerak di atas level Rp15.000 per dolar AS tahun depan. Menurut BI, pada 2023, nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.800 hingga Rp15.200 per dolar AS sejalan dengan ketidakpastian global yang masih tinggi.

“Sementara pada tahun ini, BI memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak pada kisaran Rp14.500 hingga Rp14.900 per dolar AS pada tahun ini,” kata BI.

Hingga 26 Agustus 2022, BI mencatat nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 3,81 persen (year-to-date/ytd) dibandingkan dengan level pada akhir 2021. Meski demikian, tingkat depresiasi tersebut masih relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, India, dan Thailand.

Perkembangan nilai tukar rupiah yang lebih baik ketimbang negara tetangga, sejalan dengan kembali masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan domestik, terjaganya pasokan valas domestik, serta persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global. Satu lagi adalah kondisi neraca pembayaran Indonesia yang cukup baik.

Meskipun demikian BI terus melakukan langkah stabilisasi nilai tukar rupiah mengingat ketidakpastian global yang sangat tinggi. BI melihat masih ada sejumlah faktor yang masih akan membayangi perkembangan nilai tukar rupiah ke depan, yaitu kenaikan suku bunga global yang sangat tinggi secara global.

Kenaikan suku bunga, terutama di AS akan mendorong kenaikan US Treasury sehingga memicu risiko terjadinya outflow di negara berkembang, termasuk Indonesia. “Yang menjadi faktor negatif, kenaikan subung global yang sangat tinggi, baik FFR (Fed Funds Rate) maupun US Treasury, sehingga risiko outflow masih tinggi,” katanya.

Mengenai pertumbuhan ekonomi, BI memperkirakan masih bisa naik pada kisaran 4,5 hingga 5,3 persen. Sementara pada tahun depan, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tetap kuat pada kisaran 4,5 hingga 5,3 persen.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap saat ini seluruh bank sentral di dunia, terutama di negara maju tengah menghadapi posisi yang benar-benar sulit. Situasi ini terjadi karena laju inflasi yang tinggi, bahkan ada yang tertinggi selama 40 tahun terakhir.

Ia menambahkan, jika membaca semua berita internasional bank-bank sentral di negara maju mengalami pesoalan rumit. “Bank sentral harus merespons inflasi tinggi dengan pengetatan moneter, berkonsekuensi ancaman pelemahan ekonomi negara, sehingga sentral dihadapkan pada buah simalakama yang sangat pelik,” katanya.

Hal ini merupakan tugas berat mengingat kebijakan dalam mengontrol inflasi ikut menentukan kredibilitas bank sentral. Apalagi kebijakan itu menentukan laju perekonomian masing-masing negara. Situasi ini akan terus berlangsung hingga tahun depan.

Yang jelas, ancaman terhadap inflasi dan rupiah sebagai dampak dari rencana kenaikan harga BBB bersubsidi tak boleh diabaikan. Terlihat, meskipun keputusan soal harga BBM ini belum ketok palu, masyarakat sudah merasakan efek negatif dengan kenaikan harga-harga komoditas.

Tak boleh lagi pemerintah hanya sekadar menerbitkan kebijakan berbentuk kompensasi, maupun operasi pasar dan lainnya. Tetapi harus memiliki roadmap yang jelas untuk menekan inflasi, menjaga secara ketat stok dan pasokan pangan serta melakukan pengawasan dan evaluasi secara terukur.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button