News

Pelanggaran HAM Jangan Diartikan Sempit, Urusan Perut dan Ibadah Termasuk

Langkah pemerintah yang mengakui adanya 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lampau dikomentari Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Halilul Khairi.

Menurutnya memang sudah jadi sepatutnya pemerintah mengambil peran dalam melindungi rakyatnya, utamanya terkait urusan HAM.

“Tugas pemerintah adalah melindungi jangan sampai ada orang mengganggunya, maka disebut sebagai negatieve grondrechten. Jadi hak asasi negatif, semua orang tidak boleh mengambilnya karena itu sudah dibawa di kelahirannya,” ujarnya secara virtual dalam webinar bertajuk ‘Memahami Ilmu Pemerintahan’ pada Sabtu (14/1/2023).

Lebih lanjut dikatakan, soal HAM tidak boleh diartikan sempit tapi harus lebih luas memandangnya. Menurutnya HAM juga meliputi dalam urusan kemampuan rakyat memenuhi kebutuhannya. Seperti, ketika seseorang tidak mampu berobat, kemudian diberi hak untuk melindungi hidupnya dari berbagai ancaman penyakit.

“Maka itu disebut positive grondrechten. Pemerintah justru wajib hadir. Nah ilmu pemerintah memfokuskan juga tentang ini, kapan wajib hadir, kapan tidak hadir. Nah kemudian bagaimana cara dia hadir, kapan dia wajib, kapan dia tidak wajib itu,” tegasnya.

Halilul mewanti-wanti agar negara jangan sampai justru tak hadir untuk melindungi rakyatnya, seperti pada kasus seseorang yang meninggal karena kelaparan.

“Kemarin ada anak meninggal di Prubalingga karena juga tidak makan, tidak ada yang mau bayar uang kuliah, saya mendengarnya merinding juga. Kok sampai begitu, dimana pemerintah,” kata Halilul.

“Nah itu yang seperti itu adalah masalah positive grondrechten, pemerintah harus hadir di dalamnya. Tapi jangan, misalnya kita ribut lagi soal suara adzan. Nah apakah pemerintah harus masuk, mengatur suara toa. Itu masuk negative grondrechten,” pungkasnya.

Sebelumnya pada Rabu (11/1/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal itu dia sampaikan setelah menerima laporan Tim PPHAM masa lalu yang diwakili Mahfud Md.

Jokowi mengaku telah membaca secara seksama laporan dari Tim PPHAM tersebut, yang sebelumnya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Ia juga menyatakan bahwa dirinya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat dalam 12 peristiwa masa lalu.

12 peristiwa tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button