Kanal

Rempang Tanah Leluhur Para Pejuang

Dua abad lalu di tanah ini, seorang pahlawan nasional bernama Raja Haji Fisabilillah menggelorakan perlawanan untuk mengusir Belanda, kini keadaan berulang dengan bangsa sendiri berusaha mengusir para keturunan laskar dari tanah kelahirannya. Mereka lupa, Rempang bukanlah tanah sembarang melainkan tanah para pejuang!

“Untuk kuburan pendahulu kita, saya tidak izinkan dibongkar. Nanti ini akan dipagar, dibuat gapura, agar dapat nyaman berziarah,” 

Janji itu keluar dari mulut Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di tengah hebatnya perlawanan masyarakat Pulau Rempang dari upaya pengosongan lahan (demikian klaim pemerintah yang tak mau menggunakan diksi menggusur), demi membangun proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City. 

Bagi sebagian orang mungkin sebuah makam tidak memiliki arti selain tempat bersemayamnya manusia kelak. Namun tidak demikian dengan sejarah dan peradaban. Terlebih bagi sebagian masyarakat Indonesia, makam juga menjadi sebuah tradisi adat dan budaya. Coba saja tengok, hampir dibanyak daerah punya ragam prosesi pemakaman. Budaya jawa misalnya, mengenal istilah nyadran.

Mengutip dari kebudayaan.jogjakota.go.id, ‘nyadran’ berasal dari bahasa Sansekerta ‘sraddha’ yang berarti keyakinan. Tradisi ini merupakan suatu budaya mendoakan leluhur yang kemudian berkembang menjadi adat istiadat masyarakat setempat. 

Menurut peneliti BRIN, Yanu Endar Prasetyo, Nyadran atau Sadranan, adalah tradisi yang dilakukan oleh orang jawa yang dilakukan di bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender  Jawa), untuk mengucapkan rasa syukur. Nyadran dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur. Disana, masyarakat berdoa dan makan bersama.

Sementara khusus bagi masyarakat pulau Rempang adanya Makam leluhur bukan hanya berbicara kebudayaan, namun juga sebagai bukti bahwa Pulau Rempang telah dihuni oleh warga sejak dahulu kala. 

Tanah Para Pejuang

Ustaz Abdul Somad dalam sebuah postingan di akun Instagram @ustadzabdulsomad_official menjelaskan mengenai asal muasal para penduduk asli pulau Rempang. Ulama asal melayu itu, menceritakan kembali artikel yang ditulis seorang tokoh Melayu Riau, Hj Azlaini Agus. 

“Dikutip dari Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji, dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit2/Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau2 tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I,” demikian unggahan UAS. 

post-cover
Postingan Ustaz Abdul Somad yang diunggah ulang oleh Walhi Riau (dok. instagram/@ustadzabdulsomad_official)

Kitab Tuhfat An-Nafis karya pahlawan nasional Raja Ali Haji itu ditulis dengan Bahasa Melayu Arab pada tahun 1885, dan diterbitkan pertama kali pada 1890. Naskahnya juga diterbitkan pada 1923 untuk Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, London.

Ya, berdasarkan kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji, rempang bukanlah tanah sembarang melainkan tanah para pejuang. Para leluhur penduduk Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari para prajurit atau laskar Kesultanan Riau Lingga. Mereka sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Selama Perang Riau I (1782 – 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah ( salah seorang Pahlawan Nasional ). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.

Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik- Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga, yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman, yang diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.

Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga.Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. 

Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite). 

“Jadi adalah keliru jika penguasa negara Indonesia menganggap penduduk 16 kampung tua di pulau Rempang sebagai pendatang,” ujar Azlaini Agus, beberapa waktu lalu.

Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini. 

Peneliti Sejarah Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman ketika berbincang dengan Inilah.com menjelaskan terdapat tiga suku asli Rempang yang telah tinggal di sana, yaitu suku melayu (melayu galang), suku orang laut, dan suku orang darat. 

“Orang Darat menempati Kampung Sadat yang menempati 16 kampung tua di Pulau Rempang,” kata Dedi.

post-cover
Tangkapan layar orang darat pulau rempang tahun 1930 dikutip dari buku peneliti BRIN Dedi Arman berjudul “Orang Darat di Pulau Rempang Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam” .

Dedi Arman dalam buku berjudul “Orang Darat di Pulau Rempang Tersisih Dampak Pembangunan Kota Batam” menjelaskan dari cerita rakyat, setidaknya ada tiga asal usul Orang Darat ini. 

Cerita pertama, Orang Darat yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya berasal dari Lingga. Mereka berasal dari daerah Teluk (Lingga). Kondisi kampung mereka kacau, sehingga mereka memutuskan pindah ke daerah Batam. Setiba di daerah Mukakuning, sekitar Waduk Duriangkang, perahu yang mereka naiki karam. Mereka menyelamatkan diri dan masuk ke dalam hutan. Di daerah hutan-hutan yang ada di Batam dan sekitarnya mereka tinggal dan tidak mau lagi kembali ke Lingga. 

Cerita kedua, Orang Darat disebutkan berasal dari Trengganu (Malaysia). Cerita bermula saat Orang Kaya dari Pulau Mepar (Lingga) pergi ke Trengganu untuk membeli sapi. Orang Kaya ini ke Trengganu membawa anak buah Orang Laut. Saat pulang, beberapa Orang Trengganu diajak ikut serta karena mereka nantinya yang mengajarkan tata cara beternak sapi. Dalam perjalanan sampai daerah Batam, sapi tersebut lepas dan lari ke dalam hutan. Orang Trengganu berusaha mengejar namun sapinya tidak bisa ditangkap. Orang Trengganu tersebut tidak berani kembali karena takut akan dihukum. Dari hutan yang ada di Batam, Orang Darat tersebut menyebar ke Bulang dan Pulau Rempang.

Versi ketiga, Orang Darat di Kampung Sadap berasal dari Pulau Siantan yang saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepri. Suarman dan Galba (1993) menggali informasi dari Kosot, tokoh masyarakat Orang Darat yang menyebut nenek moyangnya berasal dari Siantan. 

Pada masa lampau, pelaut dari Siantan terbiasa berlayar sampai ke Singapura, Johor dan sekitarnya. Pada suatu hari, saat mereka berlayar melewati Pulau Batam, datang badai. Sejumlah perahu yang ditumpangi tercerai berai dan berusaha menyelamatkan diri. Mereka yang selamat ada yang terdampar di daerah Galang. Mereka mendiami kampung yang saat itu belum ada penduduknya. Perkampungan inilah yang nantinya bernama Kampung Sadap.

Sementara dalam dokumentasi Belanda, Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I (Jurnal Bahasa, Tanah dan Etnologi India, Bagian Episode LXX), 1930, menggunakan istilah “Orang Darat” atau “Orang Oetan (Hutan)” bagi para penghuni pulau Rempang.

Dikutip dari halaman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, disebutkan pada tanggal 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930.

post-cover
Salah satu suku orang Darat, Baru (24), menunjukkan makam leluhurnya di Kampung Sungai Sadap, Kelurahan Rempang Cate, Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan RiauJumat (5/8/2022). (Foto:kompas/Pandu)

Menurut P Wink, pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui tentang keberadaan Orang Darat ini. Namun, belum ada kontak langsung dengan mereka. Barulah P Wink, pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Darat ini. 

Masih menurut P Wink, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids tahun 1882, di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan. Menurut legenda, mereka berasal dari Lingga. Namun, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini. Orang Darat ini mirip suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun.

Orang Darat di Pulau Rempang hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Selain tinggal di Pulau Rempang, Orang Darat ada juga yang tinggal di Pulau Batam tapi kemudian seakan hilang karena membaur dengan Orang Melayu. Dalam kunjungannya ke Pulau Rempang, P Wink mendata jumlah Orang Darat yang ada di sana. Jumlahnya 8 delapan laki-laki, 12 orang wanita dan 16 orang anak-anak.

Tampilan Orang Darat, kulitnya lebih gelap dari orang Melayu. Mereka tidak terbiasa hidup di laut. Mereka tidak memiliki sampan dan hidup dari bercocok tanam. Mereka hidup dari bercocok tanam, mencari hasil hutan. Kalau kondisi air pasang, mereka baru mencari kepiting dan lokan. Nantinya dibarter dengan orang Tionghoa yang memiliki kebun gambir yang ada di Pulau Rempang. 

“Orang Darat adalah komunitas adat yang sekarang tinggal tiga KK (Kepala Keluarga). Orang terasing ini. Dia hampir di ambang kepunahan. Dia terbiasa tinggal di hutan-hutan. Kalau mereka dipindahkan ke perumahan, bagaimana kira-kira?,” kata Dedi Arman.

Mengutip pepatah “Melayu tak akan hilang di bumi” menjadi jargon yang dikeluarkan Juru Bicara Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Suardi Mongga, untuk terus mempertahankan tanah yang jadi peninggalan leluhurnya di Rempang. Menurutnya, permasalahan mendasar bukan ganti rugi atau relokasi tapi ada nilai-nilai dan warisan yang harus dijaga.

Jadi apakah cukup iming-iming membangun museum di sekitar makam sebagai pengganti agar adat budaya tak hilang seperti janji Menteri Bahlil membuat keturunan ‘pejuang’ bersedia untuk direlokasi?. Drama ini masih berlanjut…

(Nebby/Rizky)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button