Market

Sayonara Defisit, Siapa Dulu Mendagnya?

Sayonara defisit! Selamat tinggal masa kelam defisit neraca perdagangan. Momok defisit yang berpuluh puluh tahun selalu menghantui neraca perdagangan Indonesia, sejak tiga tahun terakhir pupus, berganti dengan surplus. Singkat kata, nilai ekspor Indonesia selalu lebih besar ketimbang impor. Sebuah capaian yang patut diapresiasi dan layak diacungi banyak jempol.

Badan Pusat Statistik mencatat, selama 36 bulan berturut turut – sejak Mei 2020 – rapor neraca perdagangan Indonesia selalu biru. Sepanjang tahun 2021 lalu misalnya, surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 35,42 miliar dolar AS. Nilai surplus itu merupakan rekor tertinggi sejak 15 tahun terakhir atau sejak tahun 2006.

Tren itu terus berlanjut. Bahkan, selama Januari-Desember 2022 lalu, secara kumulatif, total surplus menembus angka 54,46 miliar dolar AS, naik hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Kalau dirupiahkan, sekitar Rp900 triliun. Nilai yang tidak kecil.

Surplus dan performa impresif neraca perdagangan itu tercatat sebagai surplus tertinggi dalam sejarah Indonesia. Dan penting pula diingat, rekor itu justru diraih di tengah berbagai ketidakpastian global. Itu pula yang membuat Presiden Jokowi semringah. Bahkan Jokowi sempat memberi apresiasi khusus kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas).

“Surplus ini tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka, sampai Pak Presiden katakan, siapa dulu dong Mendagnya,” ujar Zulhas di hadapan peserta Raker Kemendag di Novotel Lampung, Rabu (1/3/2023) silam.

Pencapaian ini mengindikasikan pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut. Tercermin pula dari meningkatnya penciptaan nilai tambah pada sektor manufaktur. Hilirisasi komoditas unggulan, seperti turunan produk CPO, berhasil mendorong naiknya nilai ekspor Indonesia. Selain CPO, hilirisasi komoditas nikel juga memperkuat performa ekspor kita.

Kinerja ini dipastikan pula akan meningkatkan resiliensi sektor eksternal Indonesia, sehingga semakin kuat menghadapi berbagai tantangan, yang diperkirakan tidak akan mudah di tahun tahun mendatang. Apalagi banyak pihak meramalkan, tahun 2023 ini, pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia akan melambat.

Hal ini pula yang menjadi salah satu concern Zulhas. “Kita harus tetap berupaya untuk menahan perlambatan agar pertumbuhan tetap terjadi. Ekonomi tumbuh, itu artinya perbaikan kesejahteraan rakyat,” kata Zulhas.

Zulhas faham sepenuhnya jika surplus neraca perdagangan berpengaruh besar terhadap perekonomian. Dengan meningkatnya ekspor, otomatis menambah permintaan terhadap produk domestik, sehingga mendorong perusahaan meningkatkan produksi. Peningkatan ini tentunya menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan pertumbuhan.

Neraca perdagangan juga memengaruhi nilai tukar. Jadi, ketika terjadi ekspor impor, mata uang yang digunakan sebagai alat pembayaran juga berbeda. Pelaku impor maupun ekspor bakal menukar rupiah dengan mata uang lain. Di sinilah nilai tukar akan dipengaruhi neraca perdagangan. Ketika sebuah negara mengalami defisit perdagangan, nilai tukar cenderung terdepresiasi. Sebaliknya, surplus perdagangan akan mengarah pada apresiasi mata uang.

Hal lain yang urgensinya tak bisa diabaikan adalah daya saing produk di pasar internasional, yang sangat tergantung pada harga jual dan kualitas produk. Salah satu faktor kunci untuk harga jual adalah struktur biaya. Harga input yang rendah memungkinkan bisnis domestik memiliki struktur biaya yang kompetitif. Mereka dapat menjual barang dengan harga murah, sehingga lebih punya daya saing di pasar internasional. Sementara itu, kualitas tergantung pada diferensiasi produk. Produk yang terdiferensiasi memberikan produsen kekuatan pasar.

Hambatan yang kerap muncul dalam praktik ekspor impor adalah proteksi perdagangan yang berupa tarif atau hambatan nontarif. Bentuknya beragam, mulai dari hambatan non-tarif, lisensi impor-ekspor, kuota impor, subsidi, pembatasan ekspor sukarela, persyaratan konten lokal, embargo, devaluasi mata uang, dan dumping.

Atas dasar itu pula Zulhas memandang, penguatan kebijakan perdagangan sekaligus memperbaiki industri dalam negeri perlu dilakukan, khususnya dalam meminimalisasi dampak negatif impor. Kinerja positif ini harus terus dipertahankan dengan optimalisasi berbagai kebijakan, terutama dalam mendorong semakin banyaknya ekspor komoditas bernilai tambah.

Di era ketatnya persaingan, setiap negara harus memperjuangkan kepentingan ekonomi nasionalnya masing-masing. Begitu juga Indonesia sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang besar, sehingga lebih bebas dan menjadi pasar bagi produk impor. “Dengan kebebasan tersebut bukan berarti harus pasrah. Kita harus melindungi industri dalam negeri dan ini salah satu tugas Kementerian Perdagangan,” kata Zulhas.

Itu sebabnya Zulhas selalu menekankan pentingnya kolaborasi semua stakeholder untuk meningkatkan kerja sama dalam mengamankan akses pasar produk-produk ekspor Indonesia, sekaligus melindungi industri dalam negeri, termasuk di dalamnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Langkah ini sejalan dengan masukan banyak pihak yang menyebut, besarnya ekspor Indonesia belakangan ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar bukan UMKM. Apalagi kenaikan nilai ekspor kita masih didorong peningkatan harga-harga komoditas di pasar dunia. “Jadi surplus neraca perdagangan itu tidak menggambarkan surplusnya masyarakat kecil,” terang Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah seperti dikutip Bisnis, Senin  (18/4/2022)

Soal keberpihakan terhadap UMKM ini, Zulhas tidak main-main. Dia selalu mendorong dan memfasilitasi pelaku UMKM untuk eksis di mancanegara, masuk ke pasar ekspor non-tradisional seperti Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Timur. Pasar tersebut mempunyai karakteristik yang tepat, seperti jumlah penduduk yang besar, daya beli tinggi, dan minat terhadap produk-produk UMKM.

“Saya ingin sekali UMKM Indonesia berkembang dan maju. Maka, menjadi tugas saya untuk memberi dukungan penuh agar UMKM bisa berkembang dan go international. Produk-produk kita sebenarnya digemari, laku. Tinggal bagaimana mempertemukan pasar itu dengan pelaku UMKM,” ucap Zulhas menegaskan komitmennya, Senin (27/2/2023).

Karena itu pula, Kemendag terus memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara mitra sebagai jalan tol untuk ekspor produk-produk Indonesia. Untuk kawasan Timur Tengah, misalnya, Zulhas mendorong pelaku usaha Indonesia bisa memanfaatkan hub di Uni Emirat Arab (UEA). UMKM bisa memanfaatkan UEA sebagai hub bagi produk-produk Indonesia di kawasan Timur Tengah, sekaligus memanfaatkan eliminasi bea masuk ke negara itu, karena Indonesia sudah memiliki perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA) dengan UEA.

Di dalam negeri, pemerintah berusaha mengembangkan kapasitas UMKM melalui ekosistem empat pilar yang melibatkan UMKM, ritel modern, lokapasar, dan pembiayaan. Ekosistem tersebut dapat membantu mendorong UMKM mendapatkan akses pasar, peningkatan kapasitas seperti kualitas kemasan, akses ke niaga elektronik, hingga akses pembiayaan untuk ekspor dan modal kerja.

Di kancah internasional, selain gencar membuka pasar baru, Zulhas beserta jajarannya juga mengemban tugas untuk mengamankan akses pasar ekspor produk Indonesia dengan melakukan upaya-upaya pembelaan terhadap tuduhan dumping, tuduhan subsidi, dan tindakan safeguard.

Mereka bahu membahu membela komoditas nasional yang kerap dijegal dengan berbagai alasan. Pada Januari-Desember 2022 lalu, Kemendag menangani 59 kasus tuduhan dumping, subsidi dan safeguard, serta hambatan teknis perdagangan di pasar ekspor. Pada kasus tersebut, 12 di antaranya berhasil dihentikan. Keberhasilan upaya pembelaan tersebut mampu mengamankan potensi nilai ekspor yang hilang sebesar 718,7 juta dolas AS atau setara dengan Rp11,3 triliun.

Selain itu, pengamanan perdagangan juga dilakukan melalui Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI). KPPI merupakan Otoritas Penyelidikan safeguard di Indonesia yang dibentuk pada 2003. Pada periode 2004-2022, Indonesia telah melakukan tindakan safeguard terhadap 44 kasus.

Sementara, KADI merupakan Otoritas Penyelidikan Anti Dumping dan Anti Subsidi di Indonesia dibentuk pada 1996. Selama ini, Indonesia telah melakukan tindakan penyelidikan tuduhan anti-dumping sebanyak 85 kasus, 48 kasus di antaranya berhasil diterapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button