Hangout

Sejumlah Pemda Larang Rokok Elektrik, Bukankah Vape Aman?

Beberapa pemerintah daerah menyatakan melarang mengonsumsi rokok elektrik atau vape tertuang dalam Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Ini karena kekhawatiran dampak negatif dari rokok jenis ini terhadap kesehatan. Benarkah vape berbahaya?

Pemerintah Kota Surabaya pertengahan Agustus 2022 telah mulai mengimplementasikan larangan mengonsumsi rokok elektrik pada kawasan tanpa rokok (KTR) sebagaimana diatur dalam Perda 2/2019 Kota Surabaya. Selain Surabaya, Kota Depok juga telah mengatur hal serupa sebagaimana diatur dalam Perda 2/2020 Kota Depok.

Larangan ini jelas membuat pengusaha vape pusing tujuh keliling. Ketua Umum Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVI) Paido Siahaan menjelaskan penerbitan Perda KTR tersebut sejatinya tak memiliki landasan argumen yang sahih, lantaran menyamaratakan profil risiko produk hasil produk tembakau lainnya (HPTL) dengan rokok konvensional. Di sisi lain, implementasi beleid ini juga dinilai bakal menghambat pertumbuhan industri HPTL.

“Ada salah satu wali kota yang mengatakan dibuatnya Perda KTR yang turut melarang konsumsi vape karena mengandung TAR. Ini jelas salah, dan menjadi kebijakan yang disusun berdasarkan opini pribadi, karena tidak ada satupun aturan atau penelitian yang bisa dijadikan acuan (yang menyebut vape mengandung TAR),” ungkap Paido kemarin.

Apakah Rokok Elektrik Berbahaya?

Rokok elektrik merupakan salah satu jenis rokok yang relatif baru. Sejak ditemukan pada 2003, rokok elektrik telah digunakan oleh sekitar 68,1 juta orang di seluruh dunia pada 2020. Banyak pengguna rokok elektrik yang mengaku menggunakannya untuk membantu berhenti merokok atau sebagai alternatif yang lebih aman dibandingkan rokok biasa.

Mengutip catatan Rumah Sakit UI, secara umum, rokok tembakau mengandung 7.000 senyawa kimia dengan setidaknya 250 di antaranya bersifat racun dan karsinogenik atau menyebabkan kanker. Tembakau dan lebih dari 50 zat penyebab kanker ditemukan pada buangan asap rokok sehingga asap buangan rokok juga bersifat karsinogen. Oleh karena itu, asap rokok memberikan dampak yang sama besarnya terhadap perokok pasif.

Rokok elektrik dan rokok tembakau tidak sama. Penting bagi para perokok untuk menyadari perbedaan dan memiliki informasi yang akurat untuk menginformasikan keputusan kesehatan mereka. Rokok elektrik tidak sepenuhnya bebas risiko tetapi membawa sebagian kecil dari risiko merokok dan membantu ribuan perokok untuk berhenti dan tetap bebas asap rokok.

Uap rokok elektrik tidak mengandung tar atau karbon monoksida, dua elemen paling berbahaya dalam asap tembakau. Ini yang sering menjadi perdebatan. Walaupun rokok elektrik dikatakan relatif tidak berbahaya karena tidak mengandung tembakau, rokok elektrik juga tetap mengandung beberapa agen kimia beracun seperti nikotin, aerosol, dan partikel toksik halus lainnya yang dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan kanker.

Setidaknya, terdapat 10 agen karsinogen aerosol yang telah ditemukan pada rokok elektrik antara lain timbal, formaldehida, toluene, asetaldehid, benzena, kadmium, isoprena, nikel, nikotin, dan N-nitrosonornikotin.

Mengaburkan Otak

Dua studi baru dari University of Rochester Medical Center (URMC) mengungkapkan hubungan antara vaping dan kabut otak. Anak-anak lebih mungkin mengalami kabut otak jika mereka mulai melakukannya sebelum 14 tahun.

Dalam studi itu, baik orang dewasa maupun anak-anak yang melakukan vape atau rokok elektrik lebih cenderung melaporkan kesulitan berkonsentrasi, mengingat, atau membuat keputusan daripada rekan mereka yang tidak merokok dan tidak merokok.

Sementara penelitian lain menemukan hubungan antara vaping dan gangguan mental pada hewan. Tim URMC adalah yang pertama menarik hubungan ini pada manusia. Dipimpin oleh Dongmei Li, Ph.D., profesor di Institut Sains Klinis dan Translasional di URMC, tim menggali data dari dua survei nasional.

“Studi kami menambah bukti yang berkembang bahwa vaping tidak boleh dianggap sebagai alternatif yang aman untuk merokok,” kata Li, penulis studi.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Tobacco Induced Diseases dan Plos One, menganalisis lebih dari 18.000 tanggapan siswa sekolah menengah dan menengah atas Survei Tembakau Pemuda Nasional. Juga lebih dari 886.000 tanggapan terhadap survei telepon Sistem Pengawasan Faktor Risiko Perilaku dari orang dewasa AS. Kedua survei menanyakan pertanyaan serupa tentang kebiasaan merokok dan vaping serta masalah dengan memori, perhatian, dan fungsi mental.

Kedua penelitian menunjukkan bahwa orang yang merokok dan vape, tanpa memandang usia, kemungkinan besar melaporkan kesulitan dengan fungsi mental. Di belakang kelompok itu, orang-orang yang hanya melakukan vape atau hanya merokok melaporkan kabut otak dengan tingkat yang sama, yang secara signifikan lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh orang-orang yang tidak merokok atau vape.

Studi remaja juga menemukan bahwa siswa yang melaporkan mulai melakukan vape lebih awal, antara usia 8 dan 13 tahun lebih, cenderung melaporkan kesulitan berkonsentrasi. Mereka juga kesulitan mengingat, atau membuat keputusan daripada mereka yang mulai melakukan vape pada usia 14 tahun atau lebih.

“Dengan meningkatnya vaping remaja baru-baru ini, temuan ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan bahwa kita perlu melakukan intervensi lebih awal,” kata Li. “Program pencegahan yang dimulai di sekolah menengah atau atas mungkin sebenarnya sudah terlambat.”

Pengaruhi Respons Kekebalan

Ada pula penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas North Carolina (UNC) yang mendapatkan temuan dari studi terkontrol terhadap perokok, bukan perokok, dan pengguna rokok elektrik. Hasilnya, pengguna rokok elektrik menunjukkan respons kekebalan yang berubah secara signifikan terhadap model infeksi virus influenza. Ini berarti menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap penyakit.

Temuan yang diterbitkan dalam American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology itu menunjukkan bahwa vaping mengubah ekspresi gen dan produksi protein dalam sel pernapasan, serta mengubah produksi antibodi spesifik virus.

“Dalam banyak peserta studi, kami mengamati lebih banyak perubahan pada respons kekebalan pada pengguna rokok elektrik daripada yang kami lakukan pada perokok,” kata penulis pertama Meghan Rebuli, Ph.D, asisten profesor di Departemen Pediatri UNC dan anggota dari Pusat UNC untuk Pengobatan Lingkungan, Asma, dan Biologi Paru, seperti dikutip dari MedicalExpress.

Semua faktor ini berpotensi berdampak buruk terhadap respons terhadap virus dan kekebalan pascainfeksi.

“Meskipun kami menggunakan influenza sebagai model, hal ini menunjukkan bahwa pengguna rokok elektrik cenderung lebih rentan terhadap virus pernapasan daripada bukan perokok, dan ini kemungkinan termasuk SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan coronavirus 2019 (COVID-19).”

Jadi rokok elektrik tetaplah memiliki risiko kesehatan. Jika Anda belum pernah merokok, sebaiknya jangan mulai merokok, termasuk rokok elektrik. Apalagi di masa remaja, yang termasuk pada masa kritis untuk perkembangan otak dan fungsinya kesehatan tubuh lainnya termasuk kesehatan mental.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button