Kanal

Sinterklas Lancung di ‘Tahun Bansos’


Alih-alih bersikap netral dan diam mencermati masa kampanye yang tengah berlangsung, Jokowi malah rantang-runtung ke sana ke mari, laiknya juru kampanye. Pada kunjungannya ke Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara, Serang, Senin (8/1/2023), seolah Sinterklas di hari-hari menjelang Natal, Presiden Joko Widodo kedapatan melakukan Bantuan Sosial (Bansos) dikelilingi spanduk pasangan calon nomor urut 2, Prabowo-Gibran.

Andai dari sebuah podium sederhana di tengah sebuah demonstrasi, seorang mahasiswa lantang bertanya,”Apakah Presiden Jokowi peduli dengan nasib dan masa depan negeri ini?” Mencermati politik Indonesia di setidaknya tiga bulan terakhir, jika banyak rakyat yang menjawab “tidak!”, hal itu tidaklah berlebihan.

Merujuk Profesor Burhanuddin Muhtadi pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Jakarta, November 2023, ada data yang seharusnya bikin malu seluruh WIR, alias Warga Indonesia Raya. Kita semua. Menurut Prof Burhanudin, data yang muncul dari penelitian Latin American Public Opinion Project (LAPOP), sebuah lembaga penelitian terkemuka yang mengkhusus-kan diri dalam pengembangan, implementasi, dan analisis demokrasi di Amerika Latin, tingkat transaksi politik uang global rata-rata adalah 14,22 persen. Namun, di beberapa negara tingkat kebusukan itu jauh di atas rata-rata. Kumpulan negara yang secara demokrasi bermasalah itu adalah Uganda (41 persen), Benin (37 persen), Indonesia (33 persen), Kenya (32 persen), Liberia (28 persen), Swaziland (27 persen), Mali (26 persen), dan Nigeria (24 persen).

Lihatlah, Indonesia menempati urutan ketiga terburuk di dunia dalam politik uang. Semua negara yang disebut di atas secara ekonomi berada di bawah Indonesia. Dua negara dengan ‘tingkat kebusukan‘ di atas Indonesia itu adalah negara miskin. Uganda, misalnya, menurut catatan Bank Dunia, pada 2022 lalu mencatatkan pendapatan per kapita (PCI) hanya 964,4 dolar AS per tahun. Sementara Republik Benin—dulu bernama Dahomey–, sebuah negara di Afrika Barat, mencatatkan PCI sebesar 1.303 dolar AS, jauh di bawah Indonesia yang menurut Bank Dunia tahun itu mencapai PCI 4.788 dolar AS.

Angka tahun 2012 yang dicatat LAPOP tersebut juga menguatkan hasil riset Frederic Charles Schaffer yang ditulis dalam bukunya “Elections for Sale; The Causes and Consequences of Vote Buying”, yang terbit di Manila pada 2007. Burhanudin—sebelum menyandang gelar professor—melalui dua kali riset yang dilakukannya bersama tim Australia National University (ANU), 2014 dan 2019, menemukan hal yang sama: tingkat politik uang Indonesia dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata dunia, yaitu sebesar 33 persen, dan menempati peringkat ketiga politik uang di dunia! Artinya, bila Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2014 mencatat 187 juta orang pemilih, itu artinya 62 juta orang Indonesia pernah ditawari (atau terlibat) politik uang. Dengan kata lain, satu dari tiga orang Indonesia yang memiliki hak pilih, pernah terpapar politik uang!  

Oh ya, apa itu politik uang (money politics)? Setelah serangkaian riset tersebut, dalam pidato pengukuhannya,”Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi dan Institusi”, Prof Burhanudin mendefinisikan politik uang secara luas yang melibatkan pertukaran klientelistik atau non-klientelistik sekaligus. Dalam definisinya, politik uang adalah “usaha terakhir dalam mempengaruhi keputusan pemilih dalam memberikan suara di Pemilu, yang dilakukan beberapa hari atau bahkan beberapa jam sebelum pemungutan suara, dengan cara memberikan uang tunai, barang, atau imbalan material lainnya kepada pemilih”.

Apa sih klientelisme yang disebut di atas berkali-kali itu? Prof Allen Hicken, guru besar di Departemen Ilmu Politik, University of Michigan, yang fokus meneliti institusi politik di negara-negara berkembang, mengartikan klientelisme sebagai hubungan pertukaran timbal balik dan hierarkis, yang dibentuk melalui barter sumber daya material atau non-material antara kandidat dan rakyat pemilih.

Dengan sekian fakta di atas, mari kita lihat apa yang dilakukan Jokowi di beberapa bulan terakhir, yang membuat saya pada alinea paling awal berani-beraninya bilang bahwa kalau pun banyak rakyat yang menjawab Presiden sejatinya tak peduli akan nasib dan masa depan negeri ini, itu tidaklah berlebihan. Bagaimana rakyat akan bilang beliau peduli pada fakta terpuruknya kondisi Indonesia di sisi demokrasi dan politik uang, bila yang dilakukan Presiden justru menumbuhsuburkan perilaku itu? Setidaknya, Presiden seolah membiarkan budaya buruk itu berlangsung, seakan-akan hal tersebut wajar, sebagaimana anggapan warga akar rumput Indonesia dengan pendidikan pas-pasan.  Sementara, tidak hanya dibenarkan nurani dan common sense setiap orang berakal, studi Prof Allen Hicken dari University of Michigan, AS, menegaskan politik uang merupakan malapraktik elektoral yang melanggar norma sosial di banyak negara dan karena itu memunculkan stigma sosial yang negatif.

Alih-alih bersikap netral dan diam mencermati masa kampanye yang tengah berlangsung, Jokowi malah rantang-runtung ke sana ke mari, laiknya juru kampanye. Pada kunjungannya ke  Desa Margagiri, Kecamatan Bojonegara, Serang, Senin (8/1/2023), seolah Sinterklas di hari-hari menjelang Natal, Presiden Joko Widodo kedapatan melakukan Bantuan Sosial (Bansos) dikelilingi spanduk pasangan calon nomor urut 2, Prabowo-Gibran. Terdapat pula spanduk besar bergambar Prabowo-Gibran dengan tulisan “Terima Kasih Bapak Presiden Joko Widodo”, yang terletak di area pintu masuk acara tersebut. Tentu kami tak harus menulis bahwa Gibran yang dimaksud adalah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden.

Alhasil, bukan hanya pihak paslon 01 dan 03 yang mempertanyakan, perilaku Presiden itu juga berbuah komentar pedas seorang guru besar komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. “Ini jelas-jelas bukti nyata Presiden tidak netral. Presiden tidak malu menggunakan bansos dari negara untuk kepentingan politik keluarga,” kata Prof Henri Subiakto. Bagi sang guru besar, hal tersebut mengkhawatirkan, karena hal tersebut dilakukan telanjang di depan publik.”Bagaimana dengan ketidaknetralan Presiden yang tidak kelihatan?” kata dia. “Belakangan ini Presiden Jokowi tindakannya sudah tidak normal lagi.”

Analis politik Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, terang-terangan menyatakan rasa herannya atas kelakuan Presiden tersebut. Baginya, Presiden yang belakangan sering mengadakan kunjungan keliling Indonesia, menunjukkan seakan-akan dirinya yang tengah ‘nyapres’.”Memang belakangan, justru yang nyapres itu (kok) kayak Jokowi, bukan lagi Prabowo-Gibran. Karena memang (dia) yang banyak (melakukan) kunjungan,” kata Pangi kepada Inilah.com.

Klaim bahwa bansos berasal dari Presiden Jokowi pun menjadi sasaran kritik.

Calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan, menyebut Bansos merupakan hak Masyarakat karena uang yang digunakan untuk kebijakan itu berasal dari pajak. “Bansos itu dibeli dengan uang pajak. Uang pajak itu didapat dari rakyat Indonesia. Bansos itu adalah dari rakyat Indonesia yang sudah bisa membayar pajak, kepada mereka yang belum sejahtera,”kata Anies dalam acara “Desak Anies” di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Rabu (3/1/2024).

Pun demikian calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo. Bagi Ganjar, Bansos tidak sepatutnya menjadi kendaraan politik salah satu pihak untuk menarik simpati publik di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2024 ini.

post-cover

Dengan makna dan dampak yang buruk itu, masuk akal bila banyak negara melarang praktik barbar politik uang tersebut. Tak kecuali Indonesia. Larangan politik uang itu tersurat jelas pada Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Seperti Pasal 280 ayat (1) huruf j, yang menyebutkan, “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”.

Namun memang persoalan ini tergolong rumit. Secara faktual, program Bansos-lah—ternyata—yang berkontribusi besar pada harumnya nama Jokowi di rakyat lapisan bawah. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa alasan mayoritas masyarakat yang mengaku puas dengan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo itu tak lain karena adanya Bansos. Program tersebut memperoleh tingkat kepuasan sebanyak 33,4 persen dari total 76 persen yang mengaku puas dengan kinerja Jokowi.

Sementara, politik uang pun ternyata berjalin-kelindan dengan kebiasaan dan sejarah bangsa. Pengajar Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, mengatakan, praktik politik uang sudah ada sejak pemilihan kepala desa di zaman penjajahan Belanda. Menurut Kunto, ketika itu pemilih diberi uang bila mereka datang ke arena pencoblosan. Awalnya, mungkin si calon kepala desa (kuwu atau lurah) hanya ingin mengganti upah para buruh tani atas kehilangan waktu mereka hari itu.  

“Orang Jawa, orang Indonesia itu rata-rata nggak enakan,” kata Kunto. Si calon tak enak sudah menghilangkan peluang orang bekerja dan mendapatkan upah. Sementara rakyat pemilih pun merasa tak enak kalau tak mencoblos si pemberi uang.  

“Solusinya adalah penegakan hukum,” kata Prof Burhanudin. Bila hukum tidak tegak, kata dia, setiap orang, pemilih maupun yang dipilih, tidak akan takut karena hukuman yang rendah, atau bahkan tidak diproses sama sekali.”Bahkan, ada anggota DPR yang mengatakan, kalau politik uang ditindak, maka penjara penuh,” ujar Burhanudin, mengutip pernyataan seorang politisi nasional di media saat itu. Artinya seperti disinyalir banyak orang, politik uang akan kian dianggar lumrah saja.

Jalan ke arah demokrasi yang ideal, mungkin saja masih jauh. Wong sepertinya kita semua bahkan belum mengkhatamkan “Bab Niat”. Tetapi kalau kita semua tidak segera niatkan dengan kukuh, hingga cicit kita lahir pun boleh jadi kita tak bergerak sama sekali.[dsy/vonita/diana/risky]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button