Kanal

Skeptisisme Kian Menyelimuti Kereta Cepat Jakarta-Bandung

China dan Indonesia telah menyepakati pembengkakan anggaran sebesar US$1,2 miliar untuk proyek kereta api cepat Bandung Jakarta. Hingga saat ini, proyek tersebut tidak berjalan mulus dan banyak gangguan. Skeptisisme terus menyelimuti proyek kereta berkecepatan tinggi pertama di Indonesia ini.

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo mengatakan telah menyepakati angka cost overrun sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,24 triliun untuk biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

“Ada beberapa item yang masih mereka tinjau terkait pajak dan biaya kliring frekuensi, tetapi kami telah menyetujui jumlahnya,” katanya, Selasa (13/2/2023).

“Kita sepakat dengan angka cost overrun US$1,2 billion (miliar). Ini yang sedang kita rapikan. Jadi memang ada beberapa item yang mereka (China) ingin lakukan kajian terkait pajak, clearing frequency dan sebagainya, tapi sudah sepakat angkanya,” tambah Tiko, sapaan akrabnya.

Artinya, dengan estimasi awal sebesar US$6,07 miliar ditambah dengan kesepakatan cost overrun US$1,2 miliar, kini biaya proyek KCJB mencapai US$7,27 miliar atau Rp110,5 triliun.

Terganjal banyak masalah

Proyek rel sepanjang 142 kilometer, yang akan menghubungkan Bandung dengan ibu kota Jakarta itu mulai dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) pada 2015. Namun sejak itu, proyek ini mengalami beberapa masalah, termasuk keterlambatan konstruksi akibat pandemi.

Proyek ini dijadwalkan selesai pada Juni 2023. Hanya saja sampai saat ini banyak pertanyaan baru muncul mengenai proyek ini dari mulai aksesibilitas, profitabilitas, dan keamanan proyek.

Publik masih belum lupa pada Desember 2022, dua pekerja China tewas saat kereta pemeliharaan atau lokomotif teknis tergelincir di lokasi konstruksi. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan tentang keamanan sistem kereta api berkecepatan tinggi tersebut.

Insiden itu menandai kecelakaan mematikan pertama yang terjadi di jalur tersebut. Menurut seorang pejabat tinggi pemerintah Indonesia, rem lokomotif bermasalah, dan kesalahan manusia mungkin juga menjadi penyebab kecelakaan itu.

Belakangan, Beijing dan Jakarta menyimpulkan bahwa kecelakaan itu tidak membahayakan keselamatan kereta api cepat Indonesia. Kedua negara menekankan bahwa kendaraan pemeliharaan yang harus disalahkan atas kecelakaan tersebut dan bahwa lokomotif yang diimpor China terhindar dari kerusakan yang signifikan.

Konstruksi dimulai kembali sebelum hasil penyelidikan pemerintah atas tragedi tersebut dipublikasikan konsorsium yang mengawasi proyek tersebut yakni PT KCIC.

Banyak keraguan

Banyak yang menyatakan skeptis tentang pembukaan jalur pada jangka waktu yang dijadwalkan. Menurut PT Kereta Api Indonesia (KAI), proyek konstruksi baru selesai 84 persen, dengan beberapa rel kereta api belum terpasang.

Sementara uji coba jalur berkecepatan tinggi, yang akan menempuh hingga 360 km/jam, diharapkan akan dimulai pada akhir Mei. Namun, meskipun semua berjalan sesuai rencana, akan sulit untuk memulai operasi pada Juni-Juli 2023. Ini menurut standar Jepang.

Menurut seorang eksekutif Kadin Jepang yang berpengalaman dalam proyek kereta api internasional, mengutip EurAsian Times, informasi yang dikumpulkan dari uji coba akan sangat penting. Lokasi lintasan mungkin perlu diubah, bahkan terkadang dalam hitungan millimeter, setelah pengujian dilakukan dengan kecepatan tertinggi.

“Seorang pejabat pemerintah Jepang percaya bahwa pengujian dan verifikasi proyek kereta api luar negeri yang didukung Jepang membutuhkan waktu setidaknya satu tahun,” kutip EurAsian Times.

Profitabilitas masih menjadi masalah lain. Pemerintah Indonesia awalnya ingin mencoba menggunakan kereta cepat Jepang untuk proyek tersebut namun kemudian beralih ke proposal China pada tahun 2015 yang tidak memerlukan investasi pemerintah Indonesia.

China semula mengusulkan biaya US$5,5 miliar lewat skema Business to Business (B to B) dan tanpa dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Negeri Tirai Bambu menyebut konstruksi bisa dimulai pada 2016 dan berakhir 2019.

Sedangkan Jepang dalam proposalnya menyebutkan biaya US$6,2 miliar, menggunakan APBN (Government to Government) dan jaminan pemerintah 50 persen. Negeri Matahari Terbit dalam proposal itu bisa memulai proyek pada 2017 dan selesai empat tahun kemudian.

Dari proposal itu jelas Presiden Joko Widodo memilih China. Jepang pun kalah. Namun, ternyata dalam perjalanannya biaya proyek ini terus membengkak hingga mencapai US$7,27 miliar, jauh lebih tinggi dari proposal Jepang. Proyek ini juga akhirnya ikut membebani APBN.

Proyek ini awalnya diharapkan selesai pada 2018. Namun, prediksi yang terlalu optimis tentang perolehan lahan yang dibutuhkan untuk proyek tersebut menunda waktu penyelesaian. Selain itu, biaya pembangunan meningkat mengharuskan pemerintah Indonesia untuk menginvestasikan lebih dari Rp7 triliun (US$462,1 juta) ke dalam proyek tersebut.

Pada bulan Desember, perwakilan KCIC juga memberi tahu parlemen bahwa konsorsium telah meminta pemerintah untuk meningkatkan hak operasinya dari 50 menjadi 80 tahun. Perusahaan mengungkapkan, hal itu karena penundaan dan kenaikan biaya, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk menutup investasi sebelum kemudian menyerahkan proyek itu kepada pemerintah.

Yang jelas perjalanan proyek ini penuh drama. Entah apalagi yang akan muncul di kemudian hari karena drama itu belum akan berakhir bahkan mungkin sampai hak operasinya selesai puluhan tahun mendatang.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button