Market

Jangan Ulangi Kesalahan Sri Lanka, Sri Mulyani Perlu Rem Hobi Ngutang

Jangan Ulangi Kesalahan Sri Lanka, Sri Mulyani Rem Hobi Ngutang

Hingga Mei 2022, posisi utang pemerintah mencapai Rp7.002,24 triliun. Sudah saatnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani lebih hati-hati dalam menetapkan kebijakan utang luar negeri.

Anggota Komisi XI DPR asal Fraksi Partai Gerindra, Kamrussamad mewanti-wanti Sri Mulyani untuk tidak serampangan dalam menentukan kebijakan utang pemerintah.

Dia mencontohkan krisis ekonomi yang merembet ke politik di Sri Lanka, harus menjadi pelajaran bagi seluruh pejabat di negeri ini. Khususnya Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani, bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara termasuk menentukan utang.  “Sejak awal saya termasuk yang melihat krisis ekonomi di Sri Lanka akan diikuti krisis politik. Dan saat ini terjadi,” kata dia.

Kalau dilihat dari segi perdagangan, lanjut Kamrussamad, krisis ekonomi di Sri Lanka, memang tidak memiliki efek besar ke Indonesia. Karena, hubungan dagang dari kedua negara, baik ekspor maupun impor, tidak terlalu besar. Sehingga tidak terlalu berimplikasi terhadap neraca perdagangan, apalagi cadangan devisa (cadev) Indonesia.

“Ekspor Indonesia ke Sri Lanka sekitar 0,16 persen dari total ekspor Indonesia pada tahun 2021. Impor kita dari Sri Lanka juga sekitar 0,03 persen, dari total impor Indonesia pada 2021,” ungkapnya.

“Meski tidak ada dampak langsung, tetap ada risiko dampak tidak langsung yang perlu diwaspadai. Yaitu meluasnya krisis ke negara lain. Apalagi tanda-tanda kebangkrutan ekonomi Sri Lanka ditunjukkan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Dan ini sedang terjadi juga di Indonesia,” imbuhnya.

Selanjutnya, Kamrussamad flashback ke era 96-an, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia menjualng hingga 8%, tapi satu tahun berikutnya, 1997, Indonesia dihantam krisis cadangan devisa dan valuta.

“Jika tidak ada pemulihan di Sri Lanka, potensi meluasnya krisis ekonomi baik di Asia maupun kawasan lainnya semakin besar. Risiko tidak langsung ini, perlu diantisipasi Menkeu Sri Mulyani. Sebab jika terjadi, dampaknya akan sangat besar,” tuturnya.

Pandangan senada, Anggota Komisi VI DPR asal Partai NasDem, Rudi Hartono Bangun mengingatkan Sri Mulyani lebih bijak dalam menetapkan kebijakan utang luar negeri yang berbasiskan dolar AS. Kian hari, nilai tukar mata uang negeri Paman Sam itu, kian menjulang.

Pada tengah perdagangan, nilai tukar dolar AS (US$) bergerak tipis di rentang Rp14.980 hingga Rp14.990 per US$. Jangan sampai, utang Indonesia terus menggunung hingga tak mampu bayar seperti dialami Sri Lanka.

“Pemerintah Indonesia (Sri Mulyani) harus lebih awas dan waspada melihat kondisi ekonomi Sri Lanka yang mengalami kebangkrutan. Jangan sampai nantinya beban utang negara makin besar dan uang untuk membayar utang dan bunga tidak siap, sehingga berakibat seperti (kebangkrutan) Sri Lanka,” kata Rudi.

Dia bilang, tata kelola pemerintahan dalam hal kebijakan subsidi harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Lantaran, besaran subsidi energi berkontribusi signifikan terhadap kenaikan utang pemerintah.

Apabila penerimaan negara tak cukup membendung subsidi energi, utang jadi solusi satu-satunya. “Di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi dan dan penerimaan yang belum optimal di Indonesia, pengalaman Sri Lanka harus menjadi perhatian bersama bagi pemerintah,” katanya.

Dia mengakui, pemulihan ekonomi Indonesia dari pandemi memang berangsur membaik. Kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi juga cukup berpihak ke masyarakat.

“Nah kalau uang sudah enggak cukup, berarti harus nambah utang. Tata kelola utang ini yang pemerintah harus bijak,” tegas legislator daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara III itu.

Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah pada akhir Mei 2022 mencapai Rp7.002,24 triliun, dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,88 persen. Belanja subsidi pada 2022 membengkak jadi Rp578,1 triliun akibat kebijakan pemerintah yang menahan harga bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg dan tarif listrik di bawah 3.000 VA.

Anggaran belanja subsidi semula sebesar Rp207 triliun, namun diubah menjadi Rp283,7 triliun. Namun dikarenakan konsumsi energi yang meningkat, maka subsidi bisa mencapai Rp284,6 triliun. Pemerintah juga harus membayar kompensasi kepada PT Pertamina dan PT PLN karena sudah menahan harga dalam dua tahun terakhir sebesar Rp293,5 triliun.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button