Kanal

Badai Al Aqsa, Oleh-oleh Pejuang Palestina dari Neraka Gaza untuk Rezim Apartheid Israel

Hanya sehari kemudian, Presiden AS, Joe Biden, menelan mentah-mentah berita itu, seolah agen CIA di Israel hanya sekumpulan pemain domino di pos ronda. Kepada para tokoh Yahudi-AS di Washington D.C, Biden bilang, “… saya tidak pernah menyangka akan melihat dan bisa memastikan keaslian foto-foto para teroris memenggal kepala anak-anak …” Ada suara serak, yang entah alami, entah dibikin-bikin. Belakangan kita tahu, semua itu hanya omong kosong.

Sebagian besar warga Zikim, sebuah kota berpangkalan militer di pesisir Israel, pada pagi hari Sabtu (7/10/2023) itu masih lelap dibius lelah, saat satu persatu pesawat paraglider berparasut, “Skuadron Saqr” dari Brigade Izzuddin al-Qassam–sayap militer gerakan perlawanan Islam Palestina, Hamas–mendarat. Persis serangan Brécourt Manor, ketika personel Resimen Infanteri Penerjun ke-506, Divisi Lintas Udara ke-101 AS, satu persatu menjejakkan tanah Desa Le Grand Chemin, Prancis, pada pagi hari 6 Juni 1944, sebagai bagian dari pendaratan Normandia yang fenomenal itu.

Keduanya juga mengemban misi yang sama: memberi pelajaran pada angkara murka. AS pada 1944 itu hendak menghajar Nazi Jerman yang semena-mena mengangkangi Prancis. Hamas kemarin untuk menjentik kuping zionis Israel, penjajah keji yang menduduki wilayah Palestina dan menindas warganya.  Jaringan media independent, National Public Radio (NPR), menulis, operasi ‘Badai Al Aqsa’ yang digelar Hamas itu membunuh lebih dari 1.000 warga Israel dan membawa sedikitnya 100 orang sandera saat kembali ke Gaza. Bukan hanya Zikim yang diserang, melainkan juga kota-kota Israel lainnya di perbatasan, antara lain,  wilayah Erez, Reim, Sderot dan Ofakim.

Serangan itu tak berdiri sendiri. Mengawali pesta darah itu, Hamas meluncurkan serentetan roket ke Israel Selatan, memicu gaung sirene terdengar berkepan-jangan hingga Tel Aviv dan Beersheba. “Kami mengumumkan dimulainya Operasi Badai Al-Aqsa, menargetkan posisi musuh, bandara, dan benteng militer. Kami luncurkan lebih dari 5.000 roket,”kata Mohammed al-Deif, kepala Brigade al-Qassam. Militer Israel belakangan mengatakan lebih dari 2.500 roket telah ditembakkan.

Ternyata, serangan roket itu hanya kedok untuk sejumlah serangan infiltrasi ke berbagai titik di Israel, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Militer Israel mengonfirmasi bahwa pukul 07.40 waktu setempat, orang-orang bersenjata Palestina telah menyeberang ke Israel. Itu yang dikonfirmasi.

Juru Bicara Militer Israel, Richard Hecht, membenarkan bahwa para pejuang Palestina itu menyusup menggunakan “parasut”, baik dari laut dan darat. Sebuah situs paralayang yang mengomentari serangan itu mengatakan, dengan pesawat yang mampu mengangkut beban 230 kilogram–setara beban empat orang– itu para pejuang Palestina bisa bergerak hingga kecepatan 56 km/jam.

Ini untuk pertama kalinya dalam sebuah serbuan besar. Serangan solo dengan gaya itu pernah dilakukan dengan sebuah gantole bermesin yang menghajar sebuah kamp militer di Israel Selatan pada 26 November 1987. Enam tentara Israel tewas dengan tujuh lainnya cedera pada serangan ala kamikaze itu.

post-cover
Pasukan Gantole Hamas. (Foto: BBC).

Bagi angkara murka yang tak pernah mengaca diri, serangan itu jelas penghinaan besar. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu—orang yang dikenal dunia sebagai zionis garis keras—murka. Dalam sebuah pidato nasional, Netanyahu bersumpah untuk mengerahkan kekuatan penuh militer Israel untuk menghancurkan Gaza. “Pasukan Pertahanan Israel akan segera bertindak untuk menghancurkan kemampuan Hamas,” kata Netanyahu. Pasukan itu, IDF—Israel Defense Forces—tak pernah sesuai dengan namanya yang eufimistis. Institusi militer itu lebih sering menyerang warga tak bersenjata, juga kanak-kanak, dibanding namanya.  “Kami akan melumpuhkan mereka tanpa ampun dan membalas hari kelam yang mereka timbulkan terhadap Israel dan warganya,”kata Netanyahu, sebagaimana dikutip Times of Israel, Ahad 8 Oktober lalu.

Dengar apa yang dinyatakan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, pada hari yang sama. Gallant bilang ia akan “membasmi binatang di Gaza”. Begitulah 75 tahun ini kaum zionis melihat warga Palestina. Tak aneh bila mereka dengan darah dingin menindas warga tanpa kemanusiaan, seraya menerapkan sikap rasis dan politik apartheid dalam kehidupan warga jajahannya.

Mata dunia yang terbuka menyaksikan sumpah itu segera nyata. Berikutnya neraka Gaza pun dibuat Israel lebih mengerikan lagi. Hingga Kamis (12/10/2023) lalu Al-Jazeera melaporkan sudah 1.537 warga Palestina kehilangan nyawa, dengan lebih dari 5.340 lainnya luka-luka. Di antara yang wafat itu ada 500 anak, 267 perempuan dan 11 petugas kesehatan.  Israel yang telah berubah menjadi Kala, atau bahkan Izrail, dengan santai selama 7-12 Oktober itu menjatuhkan 6.000 bom seberat 4.000 ton ke pusat-pusat permukiman di Gaza.  Akibatnya, 25.000 bangunan—termasuk rumah-rumah tempat tinggal—tak bisa lagi ditinggali.

Kerusakan juga dialami RS Indonesia yang selama ini berdiri di Gaza. Seorang koresponden kantor berita Palestina, WAFA, melaporkan setidaknya satu rudal Israel menghantam Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya. Serangan itu juga melukai sejumlah orang dan merusak banyak peralatan penting rumah sakit.

Oh ya jangan lupa, seakan hendak memusnahkan warga Gaza hingga bayi-bayinya sekalian, Israel segera memutus akses warga Gaza  ke kebutuhan pokok, termasuk pangan dan obat-obatan. Juga listrik dan air bersih. “Padahal, di masa damai saja listrik Gaza itu paling banter menyala 4-5 jam sehari,”kata Hendra Wijaya, warga Pondok Gede yang sempat tinggal lama di Gaza, beristrikan warga setempat.

post-cover
Serangan udara Israel di Gaza pada 12 Okkober 2023. (Foto: AP).

Selalu ada yang merasa perlu mencari kambing hitam dalam setiap masalah. Pada kasus ini, bagi mereka kambing hitam paling terang adalah Hamas. Cermati media sosial segera setelah krisis kemanusiaan ini menjelma. Dari ruang-ruang grup WA yang tertutup, hingga pesan-pesan terbuka yang berseliweran, banyak di antara warga Indonesia menyalahkan Hamas. “Bila Hamas tak melakukan serangan, takkan ada muncul krisis kemanusiaan dan kerusakan hebat di  Gaza, kata mereka umumnya.

Seolah mereka lupa, yang dilakukan Israel pasca-serangan Hamas tak lain adalah collective punishments, yang menurut International Committee of the Red Cross (ICRC) mengacu kepada tindakan terhadap suatu kelompok sebagai pembalasan atas tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut. “Karena itu, hukuman tersebut ditujukan kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas tindakan yang dimaksud,”tulis ICRC dalam situsnya. Selama ini, hukum humaniter internasional melarang hukuman kolektif selama konflik bersenjata.

Wartawan senior Farid Gaban termasuk tokoh yang mempertanyakan pengambinghitaman Hamas ini. “Saya tidak mau membenarkan atau menyalahkan Hamas. Apa yang terjadi di Palestina adalah dialektika aksi-reaksi, bertahun-tahun, di bawah tekanan tak cuma agresi Israel tapi juga sikap indifferent masyarakat internasional, termasuk dunia Islamnya,” kata Farid. Bagi dia, lebih masuk akal bagi masyarakat beradab untuk mengutuk agresi dan sikap indifferent masyarakat internasional, yang tidak bisa membela Palestina untuk suatu yang sangat jelas akarnya: penjajahan dan kebijakan apartheid Israel.

“Apakah kalau kita hidup di zaman awal kemerdekaan, kita akan mengecam Bung Tomo yang meneriakkan jihad; dengan dalih bisa membuat banyak korban jatuh di kalangan sipil?”tanya Farid, retoris. Menurut Farid, tidak masuk akal mengecam sikap non-kooperatif melawan penjajah, hanya karena akan mempersulit hidup pribumi setelahnya.

Farid, wartawan Indonesia yang meliput Perang Bosnia di pertengahan 1990-an,  menegaskan jika kita sungguh-sungguh ingin membantu dan membela Palestina, fokus dan prioritas seharusnya adalah mengecam praktik apartheid Israel dan sikap munafik Amerika Serikat sebagai pendukungnya. “Bukan justru menyalahkan Hamas.”  Itu yang menurutnya perlu disyukuri akhir-akhir ini karena ditunjukkan oleh Arab Saudi, Rusia, Cina, Yordania, Iran, Mesir, dan sebagainya, bahkan oleh kelompok Fatah/PLO yang selama ini dipetakan berhadapan dengan Hamas. “Mereka semua fokus pada kebiadaban Israel dan panggilan untuk memakai nurani dalam melihat peristiwa ini.”

post-cover
Kondisi di Gaza pada tanggal 14 Oktober 2023. (Foto: Antara).

Akar persoalan Palestina memang datang dari Barat, dan sampai saat ini masalah itu justru dipupuk-suburkan mereka. Darimana datangnya Deklarasi Balfour, yang seolah menjadi legitimasi pendirian Israel sembari menendang pemilik sah sebelumnya, warga Arab Palestina? Inggris. Siapa saja pihak yang justru selalu melindungi Israel, meski para zionis itu tak hanya mempersetankan nilai-nilai demokrasi, tapi bahkan prinsip-prinsip kemanusiaan? Amerika Serikat. Juga Prancis, dan banyak negara Eropa lain. 

Selama lima dasa warsa ini, telah berapa kali AS mem-veto resolusi PBB yang mengecam Israel? Lima puluh tiga kali! Kalau pun kemudian ada resolusi yang lolos karena sulit ditepis kecuali akan kehilangan muka sebagai negara sok cinta hak asasi manusia (HAM), Israel tak akan pernah mematuhinya. Itu yang terjadi selama ini pada Resolusi PBB 242.

Mantan anggota Kongres AS, Paul Findley (meninggal 2019 lalu), mengatakan, sejatinya berhasil lolosnya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22 November 1967, adalah prestasi diplomatik yang gemilang dalam konflik Arab-Israel. Resolusi itu menekankan “tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang”, selain memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian—tanah bagi perdamaian. Sebagai ganti ditariknya pasukan Israel dari wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang 1967 itu Israel diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab.

“Resolusi itu menjadi landasan bagi penyelenggaraan pembicaraan-pembicaraan damai antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai di Madrid, Spanyol , pada 1991,” tulis Paul Findley dalam bukunya “Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S.-Israeli Relationship”. Versi Indonesia buku itu diterbitkan Mizan pada 1995 lalu, “Diplomasi Munafik Ala Yahudi-Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel”.

Perdana Menteri Israel keenam, yang berkuasa pada 1977-1983, Menachem Begin, menolak resolusi tersebut, terutama tak mau mengembalikan Tepi Barat yang disebutnya tanah Judea dan Samaria itu. “Baik dokumen internasional ini –gencatan senjata 1949 antara Israel dan Yordania– maupun Resolusi 242, tidak menjadi penghalang bagi klaim dasar bahwa tanah Israel secara sah dimiliki rakyat Yahudi,” kata dia.

Pernyataan Begin itu menindaklanjuti pernyataan Duta Besar AS untuk PBB hingga 1968, Arthur Goldberg—yang dari namanya saja dunia tahu ia seorang Yahudi. Kata Golberg pura-pura bego,”(Resolusi PBB 242) berbicara tentang penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan, tanpa mendefinisikan ruang lingkupnya.”

Saat itu, di bawah kepemimpinan Presiden Jimmy Carter, AS menolak klaim Israel tersebut. Kementerian Luar Negeri AS saat itu segera menanggapi dengan pernyataan terbuka: “Kami beranggapan bahwa resolusi ini berarti penarikan mundur pada ketiga garis depan dalam pertikaian Timur Tengah… Ini berarti bahwa tidak ada wilayah termasuk Tepi Barat yang secara otomatis dilepaskan dari pokok-pokok yang harus dirundingkan.”

Pendapat AS itu di kemudian hari didukung secara otoritatif oleh pengarang resolusi, Lord Caradon dari Inggris. “Resolusi ini memerintahkan penarikan mundur dari wilayah-wilayah pendudukan,”kata dia. ” (Jika) Persoalannya adalah wilayah-wilayah mana yang diduduki, sama sekali tidak ada keraguan dalam persoalan ini. Adalah suatu kenyataan yang sangat jelas bahwa Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Golan, dan Sinai diduduki dalam konflik tahun 1967; penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan itulah yang ditetapkan dalam Resolusi itu.” Namun, tak pernah ada sikap serius yang cukup menekan dari AS untuk sekutunya di Timur Tengah itu.

Pakar Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Shofwan Al Bhana, percaya bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seharusnya memaksa negara-negara yang terlibat, terutama Israel, untuk mematuhi hukum internasional. Menurut Shofwan, mesti dilakukan mekanisme untuk itu, meskipun agak sulit karena harus melewati Dewan Keamanan yang di sana bercokolAS. “Tapi tentu saja PBB harus menunjukkan sikap yang jelas. Tidak hanya dari Sekjen, maliankan dari badan-badan PBB lainnya,”kata Shofwan, saat dihubungi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Shofwan menunjuk tengah terjadinya kejahatan kemanusiaan secara terbuka, yang dalam hal ini International Court of Justice (ICJ) seharusnya bisa berperan pro- aktif dan membawanya ke ICJ atau pun International Criminal Court (ICC).

Hal serupa juga dilontarkan pengamat Hubungan Internasional Universitas Andalas, Maryam Jamilah. Bagi Maryam, dalam banyak kasus, pemberian hak veto kepada lima negara pendiri PBB (AS, Rusia, Inggris, Cina dan Prancis), justru selalu menjadi salah satu faktor penentu kebuntuan kesepakatan PBB terkait Israel-Palestina. “AS yang dari awal merupakan pembela Israel akan menggunakan hak vetonya menjaga kepentingan nasional Israel, yang membuat apapun menjadi gagal dan tidak menghasilkan solusi bermakna,” kata Maryam.

Sementara rekan keduanya, pengajar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, juga menguatkan pendapat rekan-rekannya dari dua universitas berbeda itu. Secara terbuka Rezasyah menyatakan kekecewaannya kepada PBB. Baginya, diamnya PBB sementara telah dan terus terjadi kehancuran yang luar biasa dari kedua belah masyarakat, patut disesalkan.

“Sudah tidak terhitung, sudah ribuan dari Israel, ribuan dari Palestina. Angkatan bersenjata dan satu-satuan tempur saling membunuh. Kalau terlambat ditangani, ini bisa menjadi genosida lain atas masyarakat Palestina,”kata Rezasyah. Padahal, kata dia, masyarakat Palestina adalah pemilik sah wilayah tersebut.

Cermin sikap munafik barat itu tak hanya terpantul dari sikap pemerintah AS dan para sekutunya. Melainkan juga dari media massa mereka. Dalam buku yang kini klasik, “Covering Islam” (1981), cendikiawan Palestina, Edward Said, membahas bagaimana media barat mendistorsi citra Islam, termasuk Palestina.

“Covering…”, buku ketiga Said dari rangkaian bukunya, “Orientalism” dan “The Question of Palestine” mengulas bagaimana media barat memojokkan posisi (umat) Islam. Di era informasi, menurut Said, medialah yang menafsirkan dan menyaring informasi, menentukan dengan sangat selektif apa yang boleh dan tidak boleh diketahui orang Barat tentang Islam dan dunia Muslim. Islam digambarkan menindas (perempuan berhijab); ketinggalan zaman (digantung, dipenggal dan dirajam sampai mati); anti-intelektualis (pembakaran buku); restriktif (larangan perselingkuhan pasca dan di luar nikah, alkohol dan perjudian); ekstremis (berfokus pada Aljazair, Lebanon, Mesir); terbelakang (Pakistan, Arab Saudi dan Sudan); penyebab konflik di seluruh dunia (Palestina, Kashmir dan Indonesia); dan berbahaya (Turki dan Iran).

Media barat modern, kata Said, tidak ingin masyarakat mengetahui bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan adalah setara. Bahwa Islam keras terhadap kejahatan dan penyebab kejahatan; bahwa Islam adalah agama ilmu pengetahuan yang unggul; bahwa Islam adalah agama yang mempunyai prinsip etika yang kuat dan kode moral yang teguh; bahwa secara sosial Islam menjunjung kesetaraan dan persaudaraan; bahwa secara politis Islam melambangkan persatuan dan pemerintahan yang manusiawi; bahwa secara ekonomi Islam menjunjung tinggi keadilan dan keadilan; dan bahwa Islam adalah agama yang sangat spiritual dan sekaligus sangat praktis.

“Ketidakbenaran dan kebohongan tentang Islam dan dunia Muslim terus-menerus disebarkan di media, atas nama objektivitas, liberalisme, kebebasan, demokrasi, dan ‘kemajuan’,”tulis Said.

Dan Said tak sepenuhnya salah, meski mungkin tak semuanya bisa benar. Dati Israel sendiri justifikasi Said itu muncul, di era-era kita saat ini.

Jurnalis Israel, Gideon Levy–yang dengan kritis banyak menulis penjajahan dan sikap rasis Israel di Palestina hingga di negerinya sendiri dituduh sebagai propagandis Hamas– menjelaskan tiga alasan mengapa Israel bisa bertahan hingga saat ini. Pertama, kata Levy, mereka mendaku dan meyakini sebagai orang-orang terpilih, sehingga boleh melakukan apa pun. Kedua, selalu merasa “si paling victim” alias jadi korban dalam setiap ruas Sejarah. “Ada banyak penjajahan yang lebih kejam dalam sejarah, tetapi tidak pernah dalam sejarah penjajahan Si Penjajah menampilkan diri sebagai korban,” kata Levy. Lihat juga cara mereka memainkan posisi sebagai “korban holocaust”.

Yang ketiga dan paling keji, dehumanisasi terhadap penduduk Palestina. Menganggap orang Palestina bukanlah manusia—lihat pernyataan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, soal persiapan “membasmi binatang di Gaza”–, sehingga “tidak perlu ada pertanyaan tentang hak asasi manusia”.

Kebenaran Said juga tak diyakini dengan menengok terlalu jauh. Selama sepekan ini saja, kita dengan gampang menemukannya. Lihat skandal berita Kfar Aza, sebuah kampung (kibbutz) di Israel. Tulisan penulis Akmal N Basral merangkum skandal itu dengan ciamik, sekaligus bikin perih hati wartawan.

Pada Selasa (10/10/2023), Juru Bicara PM Netanyahu, Tal Heinrich, bicara kepada wartawan CNN. “Bayi-bayi dan anak-anak ditemukan mati dengan kepala terpenggal di Kfar Aza,” kata Heinrich.

Hanya sehari kemudian, Presiden AS, Joe Biden, menelan mentah-mentah berita itu, seolah agen CIA di Israel hanya sekumpulan pemain domino di pos ronda. Kepada para tokoh Yahudi-AS di Washington D.C, Biden bilang, “… saya tidak pernah menyangka akan melihat dan bisa memastikan keaslian foto-foto para teroris memenggal kepala anak-anak …” Ada suara serak, yang entah alami, entah dibikin-bikin.

post-cover
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden (Foto: AP).

Seperti biasa, berita yang terkemudian harus lebih dramatis. Sky News Australia, via seorang jurnalis keturunan Yahudi, Sharri Markson, segera memasang judul horror: “Horrific: Israel Forces Discover Bodies of 40 Babies Murdered by Hamas”. Dari mana Mbak Sharri dapat data? Konon, ia menjadikan liputan Nicole Zedeck, koresponden i24News yang ikut turun ke Kfar Aza dalam sebuah tur berita yang digalang militer Israel.

Sampai Briahna Joy Gray dan Robby Soave dari kanal The Hill TV, milik Nexstar Media Group menolak berita itu. “Biden berbohong,”ujar Joy Gray dan Soave. Bergulir, datang pula klarifikasi CNN  dari akun resmi di X (Twitter) dan akun seorang jurnalis mereka, Sara Sidner–@sarasidnerCNN. “Yesterday the Israeli Prime Minister’s office said that it had confirmed Hamas beheaded babies & children while we were live on the air. The Israeli government now says today it CANNOT confirm babies were beheaded. I needed to be more careful with my words and I am sorry,” tulis Sidner. “ I am sorry!” persis lelucon diam-diam di era Orba, tentang pertandingan menembak antara tentara AS, Indonesia dan Inggris, saat itu. “I am sorry!” karena yang tertembak –maaf—personel ABRI itu adalah kepala seorang juri, alih-alih sasaran gambar mati.   

Lebih telak lagi bantahan Oren Ziv, jurnalis foto Israel yang ikut dalam “jalan-jalan media” ke Kfar Aza itu. Dalam akunnya @OrenZiv menyatakan, salah satunya,”Selama tur media, kami tidak melihat adanya bukti tentang “Hamas memenggal kepala bayi” yang menghebohkan itu, dan juru bicara militer atau komandan lapangan juga tidak menyebutkan adanya insiden itu. Selama di  lokasi, para jurnalis dibebaskan berbicara dengan ratusan tentara yang berada di lokasi tanpa arahan para jubir militer. Reporter i24 (maksudnya Nicole Zedeck ) mengatakan dia mendengar kejadian itu ‘dari tentara’. Namun, tentara-tentara yang saya ajak bicara tidak satu pun yang menyebutkan adanya ‘kepala bayi dipenggal’. Juru bicara militer mengatakan, ‘Kami tidak bisa mengonfirmasi pada tahap ini … kami hanya menyadari tindakan keji yang bisa dilakukan Hamas.’ … Ini menyedihkan, karena Israel akan menggunakan informasi palsu itu untuk meningkatkan pengeboman terhadap Gaza dan untuk membenarkan kejahatan perang mereka di sana,” tulis Ziv.

Selebihnya, sudah bukan saatnya kita mengelus dada. Berdoa, dan bersama menggalang dana agar tak tak jatuh korban yang bukan lagi akibat senjata, melainkan kelaparan yang kini mengancam. [dsy/diana rizky /vonita betalia/rizky aslendra/reyhaanah]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button