News

Sebanyak 114 Petugas KPPS Wafat, Format Pemilu Satu Hari Perlu Diubah?


Sebanyak 114 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) telah meninggal dunia dan lebih dari 15.000 orang jatuh sakit sejak 14 Februari saat pemilihan presiden dan legislatif tahun ini. Perlukah format Pemilu dalam satu hari diubah untuk menghindari korban seperti ini? 

Meskipun jumlah kematian tahun ini turun drastis dari hampir 900 kematian pada 2019 yakni ketika pertama kalinya Indonesia mengadakan pemilihan presiden dan legislatif pada hari yang sama, para pengamat pemilu dan demokrasi menyerukan perubahan format lebih lanjut untuk mengurangi jumlah korban jiwa pada KPPS.

Masih tingginya angka kematian petugas KPPS ini mendapat sorotan media asing Channel News Asia (CNA). Dalam laporannya, media berbasis di Singapura itu mengungkapkan, tahun ini, terdapat lebih dari 5,7 juta petugas pemilu pada lebih dari 820.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia untuk melayani 204,8 juta pemilih yang memenuhi syarat. 

Selain logistik yang rumit, beberapa wilayah mengalami cuaca buruk pada hari pemungutan suara. Banjir yang melanda sebagian wilayah Pulau Jawa misalnya, menyebabkan pemungutan suara tertunda. 

Masalah Sistemik

Kematian dan penyakit yang dialami petugas KPPS ini merupakan “masalah sistemik”, kata Heroik Pratama, peneliti di Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), sebuah organisasi non-pemerintah, masih mengutip CNA. Hal ini disebabkan format pemilu yang berlangsung hanya satu hari mengakibatkan beban kerja petugas pemungutan suara yang tinggi, ujarnya.

Format satu hari, yang juga disebut pemilu lima surat suara, berasal dari keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2013 yang menyinkronkan pemilu presiden dan legislatif. Selain memilih presiden pada 14 Februari, masyarakat Indonesia juga memilih 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 152 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ada sekitar 9.900 kandidat memperebutkan kursi di DPR. Pada saat yang sama, masyarakat Indonesia memilih legislatornya di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Sekitar 250.000 kandidat memperebutkan sekitar 20.000 kursi.

Sebelum tahun 2019, pemilihan presiden dan legislatif dilakukan secara terpisah. Setelah pemilu satu hari pertama tahun itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian yang menunjukkan anggota KPPS bekerja rata-rata 20 hingga 22 jam pada hari pemungutan suara.

Tidak ada jeda dalam proses pemungutan dan penghitungan suara untuk menghindari kecurigaan dan dugaan penipuan. “Hal ini mengakibatkan beban kerja yang tinggi, sehingga (pekerja) kelelahan dan jatuh sakit,” jelas Heroik.

Lebih rendahnya angka kematian tahun ini disebabkan oleh perubahan yang dilakukan sejak 2019, kata Kementerian Kesehatan (Kemenkes). “Kami melakukan evaluasi yang menghasilkan penurunan angka kematian lebih dari 70 persen dibandingkan pemilu sebelumnya,” kata juru bicara kementerian Siti Nadia Tarmizi.

Tahun ini, pemerintah membatasi usia petugas pemilu pada usia 55 tahun dan melakukan pemeriksaan kesehatan bagi mereka. Namun KPPS ini bekerja bisa lebih dari 24 jam. Mereka bekerja mulai pukul 7 pagi pada tanggal 14 Februari dan baru selesai bertugas menghitung suara keesokan harinya bahkan bisa sampai pukul 12.00 siang. KPPS bekerja tanpa jeda istirahat tidur alias nonstop sehingga mereka harus begadang.

Petugas KPPS yang semuanya merupakan relawan berbayar menerima Rp1,1 juta hingga 1,2 juta atas pekerjaannya. Sesuai peraturan Kementerian Keuangan RI, keluarga petugas KPPS yang meninggal dunia akan mendapat santunan sebesar Rp36 juta dan bantuan biaya pemakaman sebesar Rp10 juta.

Ubah Format Pemilu

Beberapa ahli berpendapat format pemilu harus diubah untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa petugas. “Meski sudah ada sejumlah perbaikan untuk mengurangi potensi risiko petugas KPPS sakit atau meninggal…masih banyak kendala,” kata pakar hukum pemilu Titi Anggraini dari Universitas Indonesia.

Permasalahan seperti surat suara yang datang terlambat, hilang, atau tertukar dengan daerah pemilihan lain menambah stres para petugas, yang harus “menunggu dan menghabiskan lebih banyak waktu” untuk bekerja, katanya.

Tahun ini, KPU juga melakukan digitalisasi sebagian proses penghitungan dan tabulasi suara, sehingga pekerja harus memindai atau mengambil gambar formulir tabulasi yang sudah diisi dan mengunggahnya ke aplikasi. Pemerintah harus mengevaluasi formatnya dan “merasionalisasikan beban kerja petugas pemilu,” kata Titi.

Titi dan Heroik mengusulkan agar pemilihan presiden dan parlemen dilaksanakan pada hari yang sama, sementara pemilihan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dilaksanakan pada hari yang berbeda. Pemilu ini dapat diadakan dengan selang waktu dua tahun. Desain seperti itu akan “lebih cocok untuk Indonesia,” tambah Titi.

Meskipun tujuan pemilu satu hari adalah efektivitas dan efisiensi tata kelola pemerintahan namun akan sulit tercapai jika kondisi dan proses kerja KPPS tidak berubah. Faktanya, para pekerja baru bisa menyelesaikan keesokan paginya. “Selama model pemilu serentak tetap ada… Saya yakin kelelahan aparat yang berisiko sakit dan meninggal akan terus terjadi,” kata Titi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button