Market

Bongkar Skandal TPPU Kemenkeu, Ekonom: DPR Harus Bentuk Pansus

Untuk membongkar dugaan TPPU Rp349 di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), DPR disarankan segera membentuk panitia khusus (pansus). Agar masalahnya lekas terang benderang, demi tegaknya citra pemerintahan Jokowi.

Hal itu disampaikan ekonom senior INDEF, Prof Didik J Rachbini dalam rilis kepada media di Jakarta, Kamis (30/3/2023). “Agar kasus ini tidak menjadi bola liar, sebaiknya DPR membentuk pansus, gabungan dari komisi III dan XI. Karena ini masalah hukum di sektor pajak, bea cukai dan keuangan. Dengan pansus, DPR bisa mendinginkan suasana lebih dahulu. Beri jeda dulu. Setelah lebaran, pansus mulai bekerja,” tegas Didik.

Langkah awal, lanjut Rektor Universitas Paramadina ini, pansus meminta BPK melakukan audit investigatif terhadap transaksi mencurigakan di Kemenkeu sebesar Rp349 triliun, temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Audit investigatif akan menghilangkan dugaan dan analisis liar yang terus menerus berkembang. Audit seperti ini, bisa menjelaskan dengan data, siapa yang melakukan tindakan penyelewengan atau kecurangan, terutama terkait dana publik APBN,” ungkapnya.

Saat ini, memang terjadi perbedaan pandangan antara Menkopolhukam Mahfud MD dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menko Mahfud berpatokan kepada data PPATK menyebut transaksi mencurigakan yang mengarah ke tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Kemenkeu, nilainya Rp35 triliun. Sedangkan Menkeu Sri Mulyani meyakini hanya Rp3,3 triliun.

Dalam hal ini, Menko Mahfud menduga, ada oknum Kemenkeu tidak memberikan informasi secara utuh kepada Sri Mulyani. Sehingga, Sri Mulyani berpandangan bahwa transaksi mencurigakan yang menyeret anak buahnya sangatlah minim. Padahal, bisa saja dugaan Menko Mahfud benar. Ada anak buah Sri Mulyani yang ‘bermain’.

Saat rapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023), Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkap transaksi janggal dari salah satu obyek terlapor di Kemenkeu, sebanyak dua kali. Nilainya Rp180 triliun dan Rp189 triliun.

Ivan menyebutkan, kasus transaksi janggal pertama dengan obyek terlapor di Kemenkeu, nilainya Rp189 triliun. “Kemungkinan dia sudah tahu kalau kita analisa sehingga dia ganti perusahaan, ganti daerah. Tapi ketahuan juga transaksi janggal kedua dengan obyek terlapor yang sama di Kemenkeu, nilainya Rp180 triliun,” papar Ivan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3/2023).

Di kesempatan yang sama, Menko Mahfud menduga Sri Mulyani telah ditutup informasi yang sebenarnya. Ambil contoh data transaksi mencurigakan yang mengarah ke tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp189 triliun, ada masalah di bea cukai.

“Dengan 15 entitas. Tapi apa laporannya? Menjadi pajak, padahal ini laporannya cukai. Apa itu? Emas. Impor emas batangan yang mahal-mahal, tapi dalam surat cukainya ditulis emas mentah. Diperiksa PPATK, katanya emas mentan dicetak di Surabaya. Dicari ke Surabaya, enggak ada pabriknya. Itu menyangkut uang yang miliaran,” terang Mahfud.

Temuan transaksi mencurigakan Rp189 triliun ini, lanjut Mahfud telah diserahkan PPATK pada 2017. Kala itu, PPATK menyerahkannya langsung kepada Kemenkeu yang diwakili Dirjen Bea Cukai dan Irjen Kemenkeu.

“Laporan ini diberikan 2017, tidak pakai surat tetapi langsung oleh ketua PPATK kepada Kementerian Keuangan. Yang diwakili Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu dan dua orang lainnya. Kenapa tidak pakai surat karena ini sensitif, masalah besar,” bebernya.

Masalah selesai? Menurut Mahfud, tidak. Karena Kementeu dalam hal ini, Sri Mulyani tidak menindaklanjuti laporan PPATK pada 2017 itu hingga kini. “Dua hari lalu, Bu Sri Mulyani menyatakan masalah ini sudah selesai, pajaknya beras. Saya cek, ndak ada tindakan bea cukainya. Indikasi TPPU-nya dilepas,” ungkap Mahfud.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button