Market

Perpanjangan Program Biodiesel, Pengusaha Sawit Proyeksikan Ekspor CPO Anjlok


Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono mengatakan bahwa potensi tingginya harga CPO, cukup besar. Karena, produksi dalam negeri mengalami stagnasi di tengah naiknya permintaan domestik hingga di atas 4 persen.

Kalau harus digenjot, kata Eddy, produksi dalam negeri hanya bisa digenjot maksimal 5 persen. “Jika mandatori B35 diperpanjang, maka kebutuhan domestik Indonesia naik hingga 25 juta ton. Artinya, ekspor sawit pada tahun ini, turun 4,13 persen atau hanya 29 juta ton,” kata Eddy dalam Pakistan Edible Oil Conference di Karachi, Pakistan, dikutip Senin (15/1/2024).

Sedangkan Fadhil Hasan, Ketua bidang Luar Negeri Gapki, mengatakan, industri sawit Indonesia menyatakan, selain program mandatori biodiesel, peningkatan konsumsi juga terjadi pada produk oleochemichal. Sehingga, tren penurunan ekspor sudah terjadi sejak 2022. Khususnya ekspor ke China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Amerika Serikat.

Penyebab lainnya, kata Fadhil adalah produksi sawit Indonesia yang masuk tren penurunan sejak 2005. “Periode 2005-2010 terjadi penurunan produksi sebesar 10 persen. Kemudian periode 2010-2015, turun 7,4 persen, kemudian periode 2015-2020 turun 3,2 persen. Saat ini dan seterusnya cenderung stagnan.” ungkap Fadhil.

Global Research analyst, Thomas Mielke menjelaskan, penurunan produksi kelapa sawit memberikan pengaruh signifikan di pasar global ditengah semakin meningkatnya konsumsi dunia. Industri sawit Indonesia tetap akan mendominasi pasar minyak nabati global yang menguasai 32 persen produksk minyak nabati, dan 53 persen ekspor di pasar global pada 2024.

“Peningkatan produksi sawit dalam setahun hanya sekitar 1,7 juta ton, bahkan kurang. Jumlah ini, jauh lebih rendah dari yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir sejak 2020, yakni 2,9 juta ton,” kata Mielke.  

Penurunan produksi, kata dia, dipantik turunnya produksi sawit Indonesia yang menjadi negara produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia. Dampak El Nino yang membawa gelombang panas ekstrem di berbagai belahan dunia di akhir tahun 2023 tidak memberikan pengaruh lebih signifikan dibandingkan penurunan produksi kelapa sawit di Indonesia.

Analyst Glenauk Econimics, Julian Conway Mcgill berpandangan senada. Bahwa, produksi yang rendah, program mandatori biodiesel serta ketidaktersediaan lahan akibat kebijakan moratorium pemberian izin sawit oleh pemerintah Indonesia, membuat anjloknya produksi ketimbang El Nino.

Terkait harga, Director Godrej Internasional ltd, Dorab Mistri mengatakan, selain turunnya suplai sawit Indonesia di pasar global, kebijakan bioenergi atau biodiesel dan sustainable Aviation fuel (SAF) di berbegai negara, turut memengaruhi harga pada tahun ini. 
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button