News

Puisi tentang Pahlawan Nasional Karya Penyair Terkenal yang Penuh Makna

Hari Pahlawan Nasional diperingati dengan berbagai kegiatan, salah satunya perlombaan membaca puisi bertema pahlawan nasional.

Puisi tentang pahlawan nasional harus dibacakan dengan penuh penjiwaan dan semangat, guna menggambarkan patriotisme pejuang ketika mengusir penjajah.

Berikut 10 puisi tema perjuangan karya penyair terkenal yang sangat menyentuh dan penuh makna. 

1. Karawang Bekasi (Karya: Chairil Anwar)

Kami yang kini terbaring antara Karawang – Bekasi

Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan,

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

2. Dipenogoro (Karya: Chairil Anwar)

Di masa pembangunan ini

Tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu

Sekali berarti

Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

(Februari 1943)

3. Keteguhan Sang Garuda (Karya: Chairil Anwar)

Kau terlahir dari sebuah gagasan

Prinsip yang telah menjadikanmu sebagai lambang

Bersumber dari perjuangan seluruh rakyat

Berembuskan napas kemerdekaan

Di tubuhmu terukir simbol yang penuh makna

Terdiri atas banyaknya harapan

Tersisip akan impian

Hingga menjadikanmu gagah dan mulia

Sorot pandangmu yang tajam

Tubuh yang tegap dan tegar

Mencerminkan rakyat negerimu

Serta kuatnya semangat yang menopangnya

4. Derai-derai Cemara (Karya: Chairil Anwar)

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan di tingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada suatu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

(1949)

5. Sebuah Jaket Berlumur Darah (Karya: Taufik Ismail)

Sebuah jaket berlumur darah

Kami semua telah menatapmu

Telah pergi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun

Sebuah sungai membatasi kita

Di bawah terik matahari Jakarta

Antara kebebasan dan penindasan

Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang

Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’

Berikrar setia kepada tirani

Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu

Kami semua telah menatapmu

Dan di atas bangunan-bangunan

Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

Lanjutkan Perjuangan!

6. Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini (Karya: Taufiq Ismail)

Tidak ada pilihan lain 

Kita harus berjalan terus

Karena berhenti atau mundur 

Berarti hancur 

Apakah akan kita jual keyakinan kita 

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja 

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran 

“Duli Tuanku?”’ 

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus berjalan terus 

Kita adalah manusia bermata sayu, 

Yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh 

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama 

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan 

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain 

Kita harus Berjalan terus

Tidak ada pilihan lain 

Kita harus berjalan terus

Karena berhenti atau mundur 

Berarti hancur 

Apakah akan kita jual keyakinan kita 

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja 

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran 

“Duli Tuanku?”’ 

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus berjalan terus 

Kita adalah manusia bermata sayu, 

Yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh 

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama 

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan 

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain 

Kita harus Berjalan terus

7. Gugur (W.S. Rendra)

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegak

Telah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua

luka-luka di badannya

Bagai harimau tua

susah payah maut menjeratnya

Matanya bagai saga

menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu

lima pemuda mengangkatnya

di antaranya anaknya

Ia menolak

dan tetap merangkak

menuju kota kesayangannya

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Belum lagi selusin tindak

maut pun menghadangnya

Ketika anaknya memegang tangannya,

Ia berkata:

”Yang berasal dari tanah

kembali rebah pada tanah.

Dan aku pun berasal dari tanah

tanah Ambarawa yang kucinta

Kita bukanlah anak jadah

Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita

dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.

Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah juwa dari jiwa.

Ia adalah bumi nenek moyang.

Ia adalah bumi waris yang sekarang.

Ia adalah bumi waris yang akan datang.”

Hari pun berangkat malam

Bumi berpeluh dan terbakar

Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata:

“Lihatlah, hari telah fajar!

Wahai bumi yang indah,

kita akan berpelukan buat selama-lamanya!

Nanti sekali waktu

seorang cucuku

akan menancapkan bajak

di bumi tempatku berkubur

Kemudian akan ditanamnya benih

dan tumbuh dengan subur

Maka ia pun berkata:

“Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam

ketika menutup matanya

8. Lagu Seorang Gerilya (W.S. Rendra)

Engkau melayang jauh, kekasihku

Engkau mandi cahaya matahari

Aku di sini memandangmu,

menyandang senapan, berbendera pusaka

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,

Engkau berkudung selendang katun di kepalamu

Engkau menjadi suatu keindahan

Sementara dari jauh

Resimen tank penindas terdengar menderu

Malam bermandi cahaya matahari

Kehijauan menyelimuti medan perang yang membara

Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku

Engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis

Dan darah muncrat dari dadaku

Maka di saat seperti itu

Kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan

Bersama kakek-kakekku yang telah gugur

Di dalam berjuang membela rakyat jelata

9. Surabaya (Karya: Mustofa Bisri)

Jangan anggap mereka kalap

Jika mereka terjang senjata sekutu lengkap

Jangan dikira mereka nekat

Karena mereka cuma berbekal semangat

Melawan seteru yang hebat

Jangan sepelekan senjata di tangan mereka

Atau lengan yang mirip kerangka

Tengoklah baja di dada mereka

Jangan remehkan sesobek kain di kepala

Tengoklah merah putih yang berkibar

Di hati mereka

Dan dengar pekik mereka

Allahu Akbar!

Dengarlah pekik mereka

Allahu Akbar!

Gaungnya menggelegar

Mengoyak langit

Surabaya yang murka

Allahu Akbar

Menggetarkan setiap yang mendengar

Semua pun jadi kecil

Semua pun tinggal seupil

Semua menggigil

Surabaya,

O, kota keberanian

O, kota kebanggaan

Mana sorak-sorai takbirmu

Yang membakar nyali kezaliman?

Mana pekik merdekamu

Yang menggeletarkan ketidakadilan?

Mana arek-arekmu yang siap

Menjadi tumbal kemerdekaan

Dan harga diri

Menjaga ibu pertiwi

Dan anak-anak negeri

Ataukah kini semuanya ikut terbuai

Lagu-lagu satu nada

Demi menjaga

Keselamatan dan kepuasan

Diri sendiri

Allahu Akbar!

Dulu Arek-arek Surabaya

Tak ingin menyetrika Amerika

Melinggis Inggris

Menggada Belanda

Murka pada Gurka

Mereka hanya tak suka

Kezaliman yang angkuh meraja-lela

Mengotori persada

Mereka harus melawan

Meski nyawa yang menjadi taruhan

Karena mereka memang pahlawan

Surabaya

Di manakah kau sembunyikan

Pahlawanku?

10. Di bawah Kibaran Merah Putih (Karya: M. Taufiq Affandi) 

Di bawah kibaran merah putih

Bayangnya berdansa dengan pasir yang kupijak

Menekuk, meliuk, menggelora

Aku tersimpuh

Di bawah naungan merah putih

Yang enggan turun, enggan layu

Setelah lama badai menghujamnya

Mencari pijakan, aku harus bangkit

Menepis debu yang menggelayutiku

Menebalkan lagi tapak kakiku

Ini waktuku berdiri!

Tak lagi aku lengah, takkan

Ini tanah bukan tanah tanpa darah

Ia terhampar bukan tanpa tangis

Terserak cecer tiap partikel mesiu di sana

Jika pada patahan waktu yang lalu

Aku bersembunyi, berkarung

Pada lipatan detik ini, aku bukanlah kemarin

Aku adalah detik ini, aku akan menjadi esok

Aku terhuyung

Memegang erat tiang merah putih

Aku memanjat asa, memupuk tekad

Indonesia, pegang genggam beraniku!

 

.

.

Baca berita dan artikel menarik lain Inilah.com di Google News.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button