Market

UE Terapkan Anti Deforestasi, BPDPKS: Bukan Kiamat untuk Petani Sawit

Menghadapi UU Anti Deforestasi yang diberlakukan Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/UEDR) pada 6 Desember 2022, pemerintah Indonesia tidak khawatir sedikit pun. Karena, Indonesia punya posisi tawar yang kuat.

Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Achmad Maulizal Sutawijaya, menegaskan, Indonesia punya bargaining position yang kuat. “Karena, produksi minyak nabati non sawit, belum mampi mencukupi kebutuhan Uni Eropa. Artinya, masih ada peluang bagi Indonesia untuk ekspor ke Eropa,” papar Maulizal di Jakarta, dikutip Kamis (7/6/2023).

Maulizal bisa benar. Melalui beleid tersebut, Uni Eropa menutup keran impor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO), dan produk turunannya dari Indonesia. Karena, produk sawit asal Indonesia dicap merusak hutan alias pro deforestasi.

Padahal, munculnya perkebunan sawit adalah hutan. pohon sawit punya fungsi yang sama dengan pohon lainnya. Yakni, menciptakan menyerap karbon dan menciptakan oksigen Artinya, tak ada hutan yang hilang. “Terlihat, permintaan minyak nabati di Uni Eropa, belum terpenuhi. Makanya mereka impor dari negara-negara penghasil minyak nabati,” tuturnya.

Dia mengatakan, terjadi kenaikan permintaan minyak nabati seiring tren penggunaan biofuel di Uni Eropa. Ini menjadi peluang bagi industri sawit untuk terus melakukan penetrasi pasar.

“Namun dengan implementasi EUDR ini, produsen biodiesel berbasis sawit di Indonesia, perlu meningkatkan aspek sustainability. Khususnya soal rantai pasok. Sehingga, pangsa pasar bahan baku industri biodiesel di Uni Eropa tidak menurun,” kata Maulizal.

Analisa kebijakan Kemenko Perekonomian, Khadikin menyatakan, jumlah industri sawit di Indonesia, saat ini, mencapai 2.511 perusahaan. Tersebar di 26 provinsi. Dengan kapasitas produksi 84,8 juta ton dengan utilisasi 55 persen. Produksinya 47 juta ton CPO. “Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Pangsa pasarnya 55 persen di pasar global,” kata Khadikin.

Kata Khadikin, sekitar 60 persen minyak sawit Indonesia, ditujukan untuk ekspor. Artinya, Indonesia berkontribusi terhadap ketersediaan barang konsumsi, pangan serta energi secara global.

Dengan perkiraan populasi global sebanyak 9,8 miliar jiwa pada 2050, mendorong kenaikan konsumsi 200 juta ton minyak nabati. Ini menjadi peluang ekonomi menggiurkan bagi industri sawit. Karena, minyak nabati berbasiskan sawit, tergolong lebih efisien dan aman ketimbang dari bahan lain.

Misalnya, tiap hektare (ha) kebun sawit bisa menghasilkan 5 ton minyak sawit. Maka, kebutuhan 200 juta ton bisa dipenuhi dari kebun sawit seluas 4 juta ha. Menghemat ratusan juta lahan hutan di dunia.

Khadikin menyampaikan, kontribusi sektor perkebunan terhadap negara, cukup signifikan. Pada semester I-2022, total ekspor sektor agro mencapai US$25,13 miliar, setara Rp376,95 triliun (kurs Rp15.000/US$). “Di mana, 56,6 persen berasal dari perkebunan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button